Tuesday, May 24, 2011

ICMI

BAB I
PENDAHULUAN
Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia disingkat ICMI adalah sebuah organisasi cendekiawan muslim di Indonesia. ICMI dibentuk pada tanggal 7 Desember 1990 di sebuah pertemuan kaum cendekiawan muslim di Kota Malang tanggal 6-8 Desember 1990. Di pertemuan itu juga dipilih Baharuddin Jusuf Habibie sebagai ketua ICMI yang pertama.
Kelahiran ICMI bukankah sebuah kebetulah sejarah belaka, tapi erat kaitannya dengan perkembangan global dan regional di luar dan di dalam negeri. Menjelang akhir dekade 1980-an dan awal dekade 1990-an, dunia ditandai dengan berakhirnya perang dingin dan konflik ideologi.
Seiring dengan itu semangat kebangkitan Islam di belahan dunia timur ditandai dengan tampilnya Islam sebagai ideologi peradaban dunia dan kekuatan altenatif bagi perkembangan perabadan dunia. Bagi Barat, kebangkitan Islam ini menjadi masalah yang serius karena itu erarti hegemoni mereka terancam. Apa yang diproyeksikan sebagai konflik antar peradaban lahir dari perasaan Barat yang subyektif terhadap Islam sebagai kekuatan peradaban dunia yang sedang bangkit kembali sehingga mengancam dominasi peradaban Barat. Kebangkitan umat Islam ditunjang dengan adanya ledakan kaum terdidik (intelectual booming) yang di kalangan kelas menengah kaum santri Indonesia. Program dan kebijakan Orde Baru secara langsung maupun tidak langsung telah melahirkan generasi baru kaum santri yang terpelajar, modern, berwawasan kosmopolitan, berbudaya kelas menengah, serta mendapat tempat pada institusiinstitusi modern.

BAB II
IKATAN CENDIKIAWAN MUSLIM INDONESIA
(ICMI)
1. Detik-detik Kelahiran ICMI
Kelahiran ICMI berawal dari diskusi kecil di bulan Februari 1990 di masjid kampus Universitas Brawijaya (Unibraw) Malang. Sekelompok mahasiswa merasa prihatin dengan kondiri umat Islam, terutama karena “berserakannya” keadaan cendekiawan muslim, sehingga menimbulkan polarisasi kepemimpinan di kalangan umat Islam. Masing-masing kelompok sibuk dengan kelompoknya sendiri, serta berjuang secara parsial sesuai dengan aliran dan profesi masing-masing.
Dari forum itu kemudian muncul gagasan untuk mengadakan simposium dengan tema, “Sumbangan Cendekiawan Muslim Menuju Era Tinggal Landas” yang direncanakan akan dilaksanakan pada tanggal 29 September - 1 Oktober 1990. Mahasiswa Unibraw yang terdiri dari Erik Salman, Ali Mudakir, M. Zaenuri, Awang Surya dan M. Iqbal berkeliling menemui para pembicara, di antaranya Immaduddin Abdurrahim dan M. Dawam Rahardjo. Dari hasil pertemuan tersebut pemikiran mereka terus berkembang sampai muncul ide untuk membentuk wadah cendekiawan muslim yang berlingkup nasional. Kemudian para mahasiswa tersebut dengan diantar Imaduddin Abdurrahim, M. Dawam Rahardjo dan Syafi?i Anwar menghadap Menristek Prof. B.J. Habibie dan meminta beliau untuk memimpin wadah cendekiawan muslim dalam lingkup nasional. Waktu itu B.J. Habibie menjawab, sebagai pribadi beliau bersedia tapi sebagai menteri harus meminta izin dari Presiden Soeharto. Beliau juga meminta agar pencalonannya dinyatakan secara resmi melalui surat dan diperkuat dengan dukungan secara tertulis dari kalangan cendekiawan muslim. Sebanyak 49 orang cendekiawan muslim menyetujui pencalonan B.J. Habibie untuk memimpin wadah cendekiawan muslim tersebut.
Pada tanggal 27 September 1990, dalam sebuah pertemuan di rumahnya, B.J. Habibie memberitahukan bahwa usulan sebagai pimpinan wadah cendekiawan muslim itu disetujui Presiden Soeharto. Beliau juga mengusulkan agar wadah cendekiawan muslim itu diberi nama, Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia, disingkat ICMI.
Tanggal 28 September 1990, sejumlah cendekiawan muslim bertemu lagi dalam rangka persiapan simposium yang akan diselenggarakan bulan Desember. Pada tanggal 25-26 November 1990, sekitar 22 orang cendekiawan yang akan membentuk wadah baru berkumpul di Tawangmangu, Solo dalam rangka merumuskan beberapa usulan untuk GBHN 1993 dan pembangunan Jangka Panjang Tahap kedua 1993-2018 serta rancangan Program Kerja dan Struktur Organisasi ICMI.
Pelaksanaan simposium sempat terganggu oleh gugatan tentang rencana B.J. Habibie sebagai calon Ketua Umum ICMI karena beliau sebagai birokrat. Kepemimpinannya dikhawatirkan akan berdampak negatif terhadap kebebasan para cendekiawan muslim. Tanggal 30 November - 1 Desember, panitia secara khusus mengadakan rapat untuk menjawab isu negatif soal pemilihan Habibie. Dari pertemuan tersebut menghasilkan beberapa komitmen, pertama, berdirinya ICMI merupakan ungkapan syukur umat Islam yang mampu melahirkan sarjana dan cendekiawan. Kedua, untuk memimpin ICMI diperlukan tokoh cendekiawan muslim yang reputasi nasional dan internasinal serta dapat diterima oleh umat Islam, masyarakat Indonesia maupun pemerintah. Ketiga, hanya Unibraw salah satu wahana keilmuan yang cukup pantas melahirkan organisasi itu, apalagi pemerkasanya adalah mahasiswa univeritas tersebut. Halangan juga sempat datang dari aparat keamanan setempat. Dalam rapat gabungan antara penyelenggara, pemda dan aparat keamanan di Surabaya, empat hari menjelang acara, aparat keamanan mempersoalkan pembentukan organisasi tersebut.. Tapi Abdul Aziz Hosein yang menghadiri acara tersebut sebagai panitia penyelenggara mengatakan bagaimanapun ICMI akan terbentuk karena presiden sudah menyetujui dan AD/ART-nya sudah disusun.
Tanggal 7 Desember 1990 merupakan lembaran baru dalam sejarah umat Islam Indonesia di era Orde Baru, secara resmi Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) dibentuk di Malang. Saat itu juga secara aklamasi disetujui kepemimpinan tunggal dan terpilih Bahharuddin Jusup Habibie sebagai Ketua Umum ICMI yang pertama. Dalam sambutannya beliau mengatakan bahwa dengan berdirinya ICMI tidak berarti kita hanya memperhatikan umat Islam, tetapi mempunyai komitmen memperbaiki nasib seluruh bangsa Indonesia, karena itu juga merupakan tugas utama.

2. Habibie Sebagai Ketua ICMI
Pigur Habibie sebagai ketua ICMI adalah faktor yang mesti diperhitungkan, tatkala kita ingin memaparkan posisi dan peran politik ICMI. Sejak menjadi ketua ICMI, Habibie mencuat keatas pentas politik bukan lagi dalam kapasitasnya sebagai teknolog semata, melainkan sebagai aktor politik yang kian penting. Hal ini sangat didukung oleh beberapa hal yang berkumpul pada diri Habibie, antaralain: kecakapannya sebagai ahli rekayasa pesawat terbang berkaliber internasional, kedudukannya dalam lebih dari 25 posisi strategi, mulai dari menristek hingga sebagai koordinator harian dewan pembina Golkar, sikap hidup beragamannya yang taat, yang belakangan menjadi terpublikasiskan ketika ia menjadi calon ketua ICMI, kemampuannya menangkap “pelajaran politik dari presiden Soeharto yang dianggapnya sebagai guru besar dalam bidang ini ” dan lebih dari semua itu, kesangat-dekatannya dengan presiden Soeharto yang memungkinkannya berbicara empat mata selama berjam-jam.
Belakangan terbukti pula bahwa Habibie adalah seorang aktor politik yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Hal ini terutama terlihat ketika ia melakukan gebrakan dengan pendekatan atau rekonsiliasi politiknya terhadap tokoh-tokoh petisi 50 yang sebelumnya tidak perbah didekati oleh elemen kekuasaan negara. Kemampuan politik Habibie kembali menjadi pusat perhatian ketika ia berhasil mendorong Munas V Golkar 1993, dengan memilih seorang sipil pertama untuk jabatan ketua umum DPP Golkar.
Faktor Habibie ini merupakan sebilah pisau bermata dua bagi ICMI. Disatu sisi, pisau itu bermanfaat bagi ICMI. Sebab, kapasitas dan kapabilitas Habibie membuat ICMI memiliki payung kepemimpinan yang kuat dan berwiibawa, serta memiliki akses langsung kepemilik kekuasaan paling konkrit dan luas di Indonesia. Tapi, disisi lain, ia justru merupakan ancaman bagi ICMI. Kehadiran dan kiprah Habibie sangat potensial untuk membuat ICMI menjadi terlampau mesra dengan kekuasaan, dan pada gilirannya mengganggu kemandirian ICMI sebagai aktualisasi politik cendikiawan dan umat. Hal ini menjadi sangat krusial mengingat Habibie sendiri tampaknya tidak terlampau mempersoalkan masalah kemandirian ICMI. Ini maksudnya adalah bahwa kedepannya ICMI akan Independen atau tidak? Sehingga, kehadiran Habibie dalam ICMI adalah sebuah persoalan yang tidak sederhana bagi ICMI.
Masa jabatan Habibie selama 10 tahun yakni dari tahun 1990-1995 dan terpilih kembali dari tahun 1995-2000. Masa jabatan yang cukup lama, apalagi sebagai ketua pertama ICMI, sehingga tidak bisa dipungkiri bahwa Habibie membawa arah ICMI dari awal terbentuknya dan sosok habibie tidak akan pernah bisa dipisahkan dari ICMI
3. Tujuan dibentuknya ICMI
Semenjak kelahirannya di penghujung tahun 1990 di kota Malang, ICMI telah mendapat sangat banyak sorotan dari kalangan masyarakat, baik dari kalangan aktivis organisasi sosial kemasyarakatan atau dari kalangan politisi. Pro dan kontra bermunculan yang berkaitan dengan kehadirannya. Ada yang setuju dan ada pula yang tidak setuju. Bahkan, ada yang mengungkapkan dengan kata-kata sinis, yang tentu saja tidak dilakukan secara terbuka, bahwa ICMI merupakan "Ikatan Calon Menteri Indonesia", atau "Ikatan Cendekiawan Mualaf Indonesia", atau organisasi yang primordialistik dan sektarian seperti yang diungkapkan oleh Abdurrahman Wahid.
Reaksi-reaksi yang bermunculan terhadap ICMI tentu saja sangat berkaitan erat dengan perilaku sejumlah orang di kalangan ICMI sendiri ketika organisasi ini baru saja muncul dan memasuki kancah perpolitikan nasional. Dan salah satu yang sangat menonjol dari itu semua adalah tingkat keberadaa ketua umum ICMI yang sangat high profile. Menristek Habibie sebagai ketua umum ICMI merupakan public figure yang sangat dikenal pada hampir semua aktivitas sosial dan politik serta ekonomi di Indonesia. Di samping sebagai Menristek, Habibie juga menjadi direktur utama IPTN dan sejumlah industri strategis, seperti PT PAL dan PINDAD. Bahkan, keseluruhan jabatan yang dimilikinya adalah hampir 30 posisi penting.
Akan tetapi, yang tidak kalah penting adalah "kedekatannya dengan presiden". Oleh karena itu, kemudian muncul kesan atau persepsi bahwa Habibie merupakan figur yang sangat didengar oleh presiden dan masuk akal kalau Habibie juga diangap sebagai political brooker, bagi banyak orang, terutama bagi orang-orang ICMI. Memang, ketika masa-masa pembentukan Kabinet Pembangunan VI, sangat banyak rumor politik yang beredar. Misalnya, bagaimana sejumlah tokoh ICMI sudah menggantang asap, berharap untuk menjadi menteri kabinet, bahkan tidak jarang di antara mereka yang baru saja memasuki rimba raya politik Jakarta.
Pro dan kontra ICMI pun terjadi diberbagai daerah dari berbagai kalangan, seperti di daerah sekitar Jawa tengah dan Jawa timur, organisasi Islam Lokal melihat pembentukan ICMI sebagai suatu usaha untuk membentuk Masyumi dengan gaya baru. Sebaliknya banyak perwira-perwira senior beranggapan bahwa hal ini merupakan ancaman besar dari golongan ekstrim kanan. Golongan Kristen dan para pemimpin/pemuka minoritas secara diam-diam melihatnya sebagai semakin kuatnya pertumbuhan penganut politik Islam. Sementara sebagian besar tokoh-tokoh Islam menyambut baik terbentuknya ICMI.
Abdurrachman Wahid, ketua Nahdatul Ulama/NU justru melihatnya sebagai suatu kemunduran terhadap sekularism dan primodalism dalam kehidupan politik nasional. Ia berpandangan, bahwa kehidupan demokrasi di Indonesia sebaiknya tidak didasarkan kepada partai politik yang berdasarkan agama. Namun demikian sebagian besar pimpinan dan anggota NU tidak sependapat dengan Abdurrachman Wahid, bahkan mereka ini menjadi aktivis ICMI.
1. Falsafah Dasar ICMI
1. Carilah titik temu pendapat para Ormas Islam dan para anggotanya.
2. Kembangkan titik-titik temu tersebut menjadi garis temu.
3. Kembangkan garis-garis temu tersebut menjadi permukaan – permukaan temu.
4. Rekatkan sepanjang masa sampai ke akhirat permukaan-permukan temu terseut dengan ajaran kitab suci Al-Qur’an.
2. Prinsip Dasar ICMI
Adapun Prinsip Dasar ICMI yaitu 5 K :
1. Meningkatkan Kwalitas Berpikir
2. Meningkatkan Kwalitas Bekerja
3. Meningkatkan Kwalitas Berkarya
4. Mneingkatkan Kwalitas Iman dan Taqwa seimbang dengan penguasaan Kwalitas Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
5. Meningkatkan Kwalitas Hidup.

3. Manfaat ICMI
Tampilnya ICMI kepermukaan panggung politik Indonesia memberikan banyak pendapat mengenai apa manfaat dari dibentuknya ICMI?. Dalam hal ini penulis lebih terbuka dalam menganalisis manfaat dari ICMI, karena setiap kalangan pasti mempunyai pendapat yang berbeda. Tarikan ICMI dalam panggung politik nasonal sangat kuat nuansanya sebagai bentuk perjuangan umat Islam untuk mendapatkan akses dari negara. ICMI tampaknya juga diformat sebagai politik Islam yang santun dan tidak mengancam status-quo regim. Bahkan analis lain dari Hefner lebih melihat bahwa ICMI lebih sebagai produk regim yang mulai mencari legitimasi baru dari umat Islam yang mayoritas. Sementara orang lain mensinyalir bahwa ICMI adalah kekuatan Politik Islam dari kalangan cendikiawan Muslim untuk mencoba menawarkan Islam secara lebih terlembaga tanpa harus melakukan bentuk oposisi dan mempertentangkan dengan asas kenegaraan.
Fenomena ICMI menjadi sangat transparan sebagai media politik Islam ketika SU MPR 1993 (dua tahun setelah ICMI dibentuk) dimana ICMI dianggap mampu memberikan kontribusi dalam mendekatkan hubungan dengan negara, sekaligus menempatkan posisi pribadi-pribadi muslim dalam lembaga strategis. Akan tetapi dalam perjalanan sejarah ICMI, pada tahun 1995 tampaknya terjadi pergeseran makna tentang pola ini, ICMI difahami sebagai kendaraan politik (menjadi Islam Politik) dari pribadi-pribadi yang ingin menduduki kekuasaan. Hal ini pulalah yang kemudian memancing kontroversial tentang kinerja ICMI, yang kemudian ICMI semakin tersudutkan dalam titik nadir dengan menempatkan ICMI sebagai sebuah media korporatis negara untuk mengkooptasi kekuatan Islam. Bahkan sinyalemen ini semakin menguat dengan tampilnya Habibie sebagai Wakil Presiden, dan akhirnya menjadi presiden, di mana susunan kabinet Reformasi Pembangunan lebih diwarnai sosok ICMI dibandingkan ormas yang lain.
4. Perkembangan ICMI
 ICMI Bersama Habibie
Ketika ICMI dilahirkan di Malang, banyak kalangan ketika itu menilai konstalasi peta politik berubah, meskipun ICMI bukan sebuah partai politik, tapi individu-individu didalamnya banyak dikenal ketokohannya seperti Imanuddin Abdurrahim, M. Amin Rais, Nurcholis Madjid, Dawam Raharjo dan tokoh lainnya. Awal pembentukan ICMI membuat rezim pada masa itu khawatir akan pengaruhnya, namun posisi Habibie ketika itu menjadi jaminan bahwa ICMI tidak akan bermain api dengan penguasa ketika itu, yaitu Presiden Soeharto.
Tak bisa dipungkiri bahwa ICMI akan mampu melahirkan tokoh-tokoh pemimpin nasional yang cerdas, kritis dan memang akhirnya banyak tokoh-tokoh ICMI yang duduk dipemerintahan. Disatu sisi ICMI membuat umat Islam bangga ketika itu, dan setelah itu tidak sedikit mereka menjadi orang-orang yang mewarnai dan mengambil keputusan di pemerintahan. Suasana ini membuat banyak para tokoh mulai berani menyuarakan susuatu yang tidak adil. Kasus "terpanas" adalah Free Fort, sekitar tahun 1997 Amien Rais yang ketika itu sebagai Dewan Pakar ICMI bersuara lantang bahwa pembagian hasil tambang emas Free Fort lebih menguntungkan pihak luar. Kasus Free Fort ini membuat Soeharto ketika itu menjadi berang, lalu meminta kepada Habibie agar Amien Rais "disingkirkan" dari ICMI. Permintaan ini membuat Habibie dilematis karena ia dekat dengan Amien Rais, sementara Soeharto ketika itu penguasa yang sangat kuat. Akhirnya Amien Rais sendiri mengundurkan diri dari Dewan pakar ICMI setelah melihat posisi Habibie seperti itu.
Ketika era reformasi yang digulirkan mahasiswa tahun 1998 membuat banyak tokoh turun untuk mendirikan dan bergabung dengan partai politik, dengan tujuan dapat memperoleh kekuasaan. Reformasi bergulir dengan cepat, Soeharto turun, Dwifungsi ABRI di cabut, UUD 1945 diamandemen. Perubahan ini berjalan demikian cepat, sementara itu ICMI seperti kenderaan kosong. Hiruk pikuk reformasi, disikapi dengan berbagai kepentingan-kepentingan jangka pendek bagaimana bisa menjadi presiden, menteri, gubernur, bupati, atau anggota dewan.
Meskipun demikian ruh kecendikiawanan para tokoh dan mahasiswa Islam masih hidup. Meskipun geliatnya secara politis tidak bergema dengan lincah di kanca nasional, hal ini kuat terlihat setelah Habibie tidak lagi memimpin ICMI. Terasa ada sesuatu semangat yang hilang ketika itu, mungkin "icon" imtaq dan iptek melekat pada vigur Habibie. Akhirnya, realitas perjalanan ICMI dan geraknya pada muktamar ke IV di Makasar belum melahirkan hasil-hasil yang dipandang dan dirasakan langsung oleh umat. Orang-orang "tua" di ICMI pasca muktamar tidak terlihat geliatnya, terlebih-lebih diberbagai wilayah dan daerah.

 Perjalanan ICMI Selanjutnya
Mengapa ICMI Gagal Membidani Perubahan? Pernyatan tersebut, menjadi penting karena terikat dengan berbagai gagasan dasar ICMI tentang : (1) pembangunan manusia seutuhnya dan masyarakat seluruhnya, (2) Pembangunan dan perubahan sosial, serta (3) keterampilan dan responsibilitas. Mengapa semua itu, harus terbuai pasca kejatuhan B.J. Habibie yang menjadi icon ICMI?.
Mungkin salah, tetapi bisa jadi justru benar bahwa terjadi sebuah kudeta spiritualistik tentang gagasan organisasi kecendikiawanan muslim yang digagas oleh sekumpulan pemuda-mahasiswa di malang. Ketika para pemuda muslim itu “memaksakan” sebuah spirit cendekiawan muslim untuk sebuah perubahan, maka sekelompok para cendekiawan senior merasa diberikan justifikasi ruang yang lebih elegan dalam politik. Sejauh apapun itu diingkari, akan semakin dirasakan dalam perjalanan ICMI di era Reformasi.
ICMI secara sadar mengkooptasi diri dengan politik, dengan melakukan proses penetrasi partisipasi massif (mobilisasi kekuatan islam di Indonesia) dua tahun sejak berdiri sampai pada pemilu tahun 1992. sekali lagi tidak dapat dipungkiri, bahwa peran ICMI menjadi sangat fundamental dibidang politik pasca pemilu tahun 1992, sehingga muncullah anekdot plesetan tentang ICMI sebagai sinonim dari Ikatan Calon Menteri Indonesia. Meskipun dari ruang politik itu, ICMI mampu melakukan terobosan-terobosan penting dibidang ekonomi.
Tetapi yang pasti, 5 tahun pasca terbentuknya, ICMI telah “dikuasai” oleh segerombolan para cendikiawan muslim yang patrilinial. ICMI difeodalisasi dalam sebuah hirarkhi pendidikan yang formalistik meski tidak sepenuhnya terjadi, ICMI telah menjadi hegemoni yang tidak lagi egaliter. Posisi cendikiawan muslim muda, digradasi dalam sebuah lembaga bernama Majelis Sinergi Kalam (Masika) sebuah ruang sempit yang disisakan untuk generasi muda.
Spritualisme cendekiawan muda muslim yang menjadi akar dari terbentuknya ICMI, tidak setengahnya ditangkap dan dikembangkan. ICMI berubah menjadi sebuah “monster” dalam perspektif politik Indonesia, yang dinilai oleh presiden Soeharto saat itu, sebagai sebuah kekuatan berbahaya yang harus diakomodasi kepentingangnya untuk menutupi segala kejahatan-kejahatan orde baru. Maka jadilah ICMI sebagai sebuah organisasi maha penting untuk sebuah sarana kepentingan politik bagi serombingan para cendekiawan-cendekiawan muslim. Dalam periode politik 1992-1997 sangat sulit menemukan cendekiawan muslim di Indonesia yang tidak tergabung dalam ICMI.
Spritualisme pemuda yang menggagas ICMI semakin tidak relevan hingga detik-detik akhir hayat pemerintah orde baru. ICMI bahkan tidak secara signifikan mengambil peran formalistic dari sebuah gelombang besar spiritual para pemuda yang memiliki kepekaan komitmen terhadap perubahan, bahkan sebelumnya, Amien Rais seorang tokoh cendekiawan muslim yang memilki kepekaan dan komotmen terhadap perubahan di pecat dari ICMI.
Gelombang besar itu, tidak saja menjatuhkan segala benteng ideologis orde baru, tetapi menjadi sebuah awal dari tsunami bagi organisasi ICMI yang terlibat sangat sentral dalam masa-masa akhir orde baru. Puncak dari tsunami itu adalah penolakan laporan pertanggung jawaban preside B.J. Habibie dalam siding MPR/DPR. Hungga sewindu reformasi berlalu, sampai pada muktamar ke IV ICMI di Makssar bulan Desember 2005, ICMI belum sepenuhnya pulih untuk kembali mengembang “pembangunan manusia seutuhnya dan masyarakat seluruhnya”.

KESIMPULAN

Tanggal 7 Desember 1990 merupakan lembaran baru dalam sejarah umat Islam Indonesia di era Orde Baru, secara resmi Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) dibentuk di Malang.
Tak bisa dipungkiri bahwa ICMI akan mampu melahirkan tokoh-tokoh pemimpin nasional yang cerdas, kritis dan memang akhirnya banyak tokoh-tokoh ICMI yang duduk dipemerintahan. Disatu sisi ICMI membuat umat Islam bangga ketika itu, dan setelah itu tidak sedikit mereka menjadi orang-orang yang mewarnai dan mengambil keputusan di pemerintahan.
Ketika ICMI dilahirkan di Malang, banyak kalangan ketika itu menilai konstalasi peta politik berubah, meskipun ICMI bukan sebuah partai politik, tapi individu-individu didalamnya banyak dikenal ketokohannya seperti Imanuddin Abdurrahim, M. Amin Rais, Nurcholis Madjid, Dawam Raharjo dan tokoh lainnya. Awal pembentukan ICMI membuat rezim pada masa itu khawatir akan pengaruhnya, namun posisi Habibie ketika itu menjadi jaminan bahwa ICMI tidak akan bermain api dengan penguasa ketika itu, yaitu Presiden Soeharto.


DAFTAR PUSTAKA

Aditjondro, G. J. (20060. Korupsi Kepresidenan Reproduksi Oligarki berkaki 3: Istana, Tangsi dan Partai penguasa. Yogyakarta : LKIS
Hisyam, M. (2003). Krisis masa kini dan Orde baru. Jakarta: yayasan Obor.
Wahid, A et al. (1995). ICMI Antara Status Quo dan Demokratisasi. Bandung:Mizan
------. (2009). Latar Belakang/ Kelahiran Icmi. [Online]. Tersedia:
http://www.facebook.com/pages/ICMI-IKATAN-CENDEKIAWAN-MUSLIM-SE INDONESIA/49031612241?v=info. [Jumat, 20 mei 2011].
-----. (2009). Dewan Pakar ICMI Periode 2005-2010. [Online]. Tersedia: http://www.facebook.com/notes.php?id=49031612241#!/note.php?note_id=60198486088. [Jumat, 20 mei 2011].
-----. (----). Sejarah Kelahiran ICMI. [Online]. Tersedia: http://icmijabar.or.id/?p=21. [Jumat, 20 mei 2011].
Liddle,R William. (----). ISLAM dan POLITIK di Masa Orde Baru. [Online]. Tersedia:http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1996/08/05/0088.html. [Jumat, 20 mei 2011].

No comments:

Post a Comment