MANUSIA BODOH
“Han, sudah ku bilang jangan pernah buntutin aku lagi! Aku bukan tawanan!.” Suaranya membentak aku didepan orang banyak hingga menusuk dinding ketegaranku.
“Gi, ini ketiga kalinya aku melihat kamu jalan semesra ini sama cewek lain. Disaat aku butuh kamu, kamu malah jalan sama orang lain.
“Lalu, sekarang apa maumu?.
“Kembalilah!.”ucapku memohon?.”
“Lupakan!.” Ia pergi menjauh meninggalkan aku ditengah keramaian degan menggandeng mesra cewek itu. Rasanya aku tak dapat bernafas melihat semua itu. Rasanya aku tak dapat bernafas melihat semua itu. Hingga ku abaikan rasa maluku yang menjadi sebuah tontonan yang amat menyedihkan didepn orang banyak, mendapati cowoknya tengah asyik selingkuh, bukannya memarahi tapi malah dimarahi sialnya aku.
Ku jatuhkan tubuhku disofa kamarku. Ku terdiam sejenak dan mulai hanyut dalam lamunan yang tak pernah habis untuk kunikmati sendiri.
Egi . . . mengapa dia berubah begitu jauh. Dimanakah dia yang dulu, perhatian dan penuh kasih saying, bahkan rela terbaring dirumah sakit selama tiga hari hanya untuk mendapatkan cintaku rela melakukan segala hal hanya untuk bisa menyakinkan hatiku.
Tahun pertama semua berjalan semestinya ia masih selalu dengan mawar putih tiap kali datang kerumah.
“Malem Hana!” ia berdiri didepan pintu rumahku nggak bilang mau kesini”
“Kejutan!”
Ia memberikan mawar putih yang ia sembunyikan dibalik punggungnya. Aku tersenyum sembari mengajaknya masuk.
“Oh ya! Kenalkan ini sepupuku, namanya hani!.”
“Hani!.”
“Egi !.” Mereka saling berjabat tangan. Dalam perkenalan itu mereka sepertinya mudah akrab.
Memasuki tahun ke-2, Egi mulai mengenal dan mencoba-coba sebuah perselingkuhan yang lebih membuatku seperti tersambar petir adalah dia selingkuh dengan sepupuku. Oh . . . tuhan, benarkah yang ku lihat itu. Pemandangan itu begitu sarat untuk kulihat. Antara percaya dan tidak aku terombang-ambing tak berdaya. Hatiku perih menangis.
“Hani! Aku minta maaf! Aku khilaf!”
“Aku tak percaya, kau setegah itu, gi!
Kau tahu dia sepupuku.”
“Aku minta maaf, Han!.”
“Kita putus!.”
“Han, ku mohon! Jangan putusin aku!
Aku masih saying kamu, please!.” Matanya yang berbinar-binar penyesalan itu seolah menghonoptisku. Senyum harapnya meluluhkan amrahku.
Kami tetap menjadi sepasang kekasih walau tak seharmonis dulu. Kepercayaanku sedikit pudar karena tingkahnya. Dan hal itu terjadi lagi dalam kisah kami. Anehnya aku selalu bisa memaafkannya, meski hatiku tlah begitu banyak dengan luka goresan karena egi. Tak sedikitpun aku bisa membencinya walau kekecewaanku menumpuk ketiga kalinya aku melihat dia begitu asyik dengan seorang cewek, tepat dimana aku sedang membutuhkannya.
Ku pandangi cincin yang melingkar dijari manisku. Begitu indah namun menyayahti. Cincin itu ku dapatkan setahun yang lalu sebagai bukti cinta egi. Ia meyakinkan aku betap dia menyayangi aku dengan melamarku
Namun keadaan hubungan kami tak seindah yang kubayangkan. Lagi-lagi ia mengulangi kesalahannya yang lebih menyakitkan ia memberikan cincin tunangan kami pada cewek itu. Betapa sakit dan hancurnya perasaanku. Aku semakin terhanyut ke dalam lamunan bersama kalutnya pikiranku ketika manusia bodohnya ADA BND mengalun lembut ditelingahku.
Luka dalam dada trasa semakin pilu, rongga dadaku semakin sesak dipenuhi kerikil-kerikil kekecewaan yang membuatku tak mampu bernafas dengan tenang. Manusia bodoh . . . Aku baru menyadari semua betapa bodohnya aku yang selalu tertipu oleh air mata egi. Begitu banyak luka yang ia torehkan padaku, tapi aku selalu bertahan dan mengharap dia seperti dulu. Selalu tersenyum dan mengumbar keharmonisan didepan orang banyak meski itu palsu oh . . . Tuhan betapa bodohnya aku. Untuk pertama kalinya, ku lepakan cincin pernikahan kami, ku hapus air mataku dan telah ku putuskan dengan kemantapan hatiku.
Hampir satu minggu aku mencari egi dikampusnya, namun tak sekalipun aku melihat dia, ku coba menanyakan kepada teman-temannya, namun semua temannya tak ada yang tahu keberadaannya, namun semua temannya tak ada yang tahu keberadaannya. Setelah pertengkaran itu, dia seolah hilang ditelan bumi.
Dan pagi ini, sepasang bola mataku terbelalak melihat seorang cowok yang berdiri tepat didepan pintu rumahku.
“hai, Han!.” Sapanya terbata
“Hai, Gi! Tumben pagi-pagi sudah kesini!.”
“Aku kangen sama kamu!.”
“Masuklah!.” Aku mendesah sambil membawanya keruang tamu.
“Han, kau marah padaku.”
“Ha . . . ha . . . ha !.”aku tertawa kecil sambil menahan amarah.” Untuk apa aku marah!.”
“Oh, ya gi, dimana cincinmu? Kok gak kamu pakai sich!.” Ia memandang kearah jarinya.
“Kamu juga! Di mana cincinmu?.” Ia melirik jariku sambil tersenyum.”cincinku tadi ketinggalan dikamar.”
“Oh . . . kalau cncinku!” aku terdiam sejenak.” Ini cincinmu ku kembalikan.” Aku tak tahan lagi menahan emosi yang sjak tadi rasanya ingin ku muntahkan didepan egi.”Ambil cincin itu dan jangan pernah kau berikan padaku lagi.
“Han, tapi kenpa?Aku tahu aku salah aku kan sudah minta maaf.”
“Maafmu . . . aku tak bisa menerimanya lagi. Harus kau tahu, gi! Aku bukan manusia bodoh, sudah cukup semua, sabarku ada batasnya.”
“Maksudmu?”
“Kita putus dan pertunangan kita batalkan.
“Han, jangan seperti itu, kau bercanda kan?.”
“Aku sungguh-sungguh aku bosan dengan sikapmu. Aku bosan hidup dalam buaian belaka ku selalu meminta maaf dan setelh kau mengulang lagi kesalahanmu, mungkin aku selalu bisa memaafkanmu dulu tapi, untuk kali ini aku tak bisa. Aku terlanjur kecewa, yang lebih menyakitkan kau memberikan cincinmu kepada cewek itu.” Ku tatap wajahnya yang tertunduk.
“Apa?.”ia terkejut.
“Aku tahu, Gi! Cincin itu tak ada lagi padamu, kau tlah memberikannya pada cewek itu. Kau tak menghargi pertunangan kita pergilah dan bawa cincin itu.
“han, maaf!.” Ia terus memohon dengan air mata yang selalu sama. Namun kali ini aku takkan terperdaya ia sendiri yang membuat hubungan kami berakhir. Air mata penyesalan itu takkan lagi meluluhkan hatiku karena aku sadar aku bukan manusia bodoh yang kan terus membiarkan dia tersenyum diatas tangisanku.
LUKISAN TERAKHIR
“Hati adalah mata
Tanpa mata, kita tak mampu menatap
Tanpa hati, kita tak mampu melihat
Karena mata dan hati adalah
Sinar kehidupan . . .”
Perkenalan antara Natan dan Naya terbilang singkat. Namun mereka begitu akrab dibandingkan denganku yang hampir tiga tahun menemani Natan. Dan pengorbanan Natan yang begitu besarpun berujung pada Naya.
Siang itu, sesuai dari rungan dokter, Natan ditabrak seorang cewek yang berlari “BRakk!” mereka terjatuh, cewek itu bangkit dan pergi berlalu meninggalkan Natan tanpa meminta maaf. Natan hanya bisa menggelangkan kepalanya sambil memegang tangannya yang memar. Walau Cuma tertenggor, hal itu bisa membuat Natan terluka. Maklum Natan di vonis mengidap Hemofika sejak ia masih kecil. Penyakit yang membuat Natan tidak boleh lelah, terbentur dan tentunya harus menjalani transfuse darah seumur hidupnya. Itulah sebabnya dia selalu menghindari keributan.
Walau aku begitu sibuk, tapi aku selalu menyempatkan waktu untuk kerumahnya.
“Nat . . . !.” Aku menghampiri dia ditempat kerjanya yang penuh dengan lukisan. Namanya juga pelukis ia begitu tenang dengan kus ditangannya.
“Nen!.” Ia melirikku sejenak dan kembali memusatkan perhatiannya ke lukisan yang ada didepannya.”Nena, lihatlah gadis ini cantik, bukan?.”ucapnya tanpa mengubah pandangannya.
“Cantik!.” Aku mendesah lirih.
“Kenapa? Kau tak perlu cemburu.”
Ia memang selalu bisa menangkap apa yang ku pikirkan. Cemburu . . . tentu aku merasa cemburu, sebagai tunangannya di depanku ia memuji cewek lain.
Cewek itu memang cantik, setelah pertemanan mereka di koridor rumah sakit. Natan sering melihat cewek itu berdiri sendiri ditaman rumah sakit sambil memainkan biola ditangannya. Karma rasa penasaran Natan mendekati cewek itu.
“Hai !.”sapanya lirih
“Kamu, siapa?” Tanyanya tanpa mengubah posisi tubuhnya. Permainan biolanya terhenti.
“Namaku Natan! Kamu sendiri?”Di layangkan tangannya kearah cewek itu.
“Naya! Cewek itu tak membalas jabatan tangan natan. Dengan langkah pelan dan mencoba mencari jalan dengan tangannya. Ia mencari tempat duduk, Naya melepas lelah dan Natanpun mengikutinya. Baru disadari Natan, Naya itu buta pantas saja ia tak menjabat tangan natan itu yang melayang dibenak natan.
“Aku sering sekali lihat kamu disini.”
“Ya, iyalah! Secara aku kan pasien disini.” Jawabnya sambil tersenyum ia terdiam sejenak.”sering . . . berarti kamu juga sering kesini, donk!” ucapnya sambil memandang natan walau yang dilihatnya hanya warna hitam bukan wajah natan.
“Iya!.” Suara itu terdengar berat.
“Siapa yang sakit?kamu?sakit apa?”
Naya melontarkan pertanyaan-pertanyaan tanpa memberi celah Natan untuk menjawab.
“Aku!kecapek’an!.”jawabnya singkat.”kamu?.”
“Aku . . .!”Naya terdiam cukup lama.
“Aku buta. Harusnya hari itu aku berdiri diatas panggung dan memainkan biolaku dikonser itu, tapi . . . sebelum sempat sampai ditujuan, mobilku dihantam truk dan kecelakaan itu terjadi, aku mungkin bisa selamat, tapi tak bisa dipungkiri serpihan kaca mobil itu mengenai mataku dan beginilah aku.” Ia tersenyum.
“Lalu . . .!”
“Lalu apa?.” Naya mendsah.
“Bisa sembuh?.”
“Bisa! Dengan jalan operasi dan donor mata, Donor mata!” Naya menghela nafas panjang.” Memang siapa yang mau memberi kan kornea matanya sedangkan dunia masih begitu indah untuk dipandang matakan sinar kehidupan.”
“Eh, tapikan masih ada hati!.” Natan menyahut.
Mereka semakin akrab tiap bertemu.
Tiba-tiba aku terkejut ketika aku mendengar suara Natan memanggilku.
“Nen . . . nena! Mikirin apa, sich?.”
“Nggak, kok!.” Oh, ya nat, kapan lukisanmu di pamerkan di gallery.”
“mmh, sekitar tiga bulan lagi! Nunggu lukisan ini selesai, karena ini lukisan terakhirku.
“Maksudmu?.” Tanyaku terkejut.
“Ini lukisan terakhir yang akan di ikutkan dalam pameran tiga bulan lagi.
“Oh . . . !”aku mendesah lega.
“Nen . . . aku sedikit ragu, apakah lukisan in ibis selesai dalam waktu sesingkat itu.
“Kenapa?bukankah kau pelukis handal?.”
“kau lihat kan, tak sedikitpun aku bisa melukis matanya.”
Ku lihat lukisan itu memang belum sempurna aku tahu mengapa natan tak mampu melukis mata Naya, karena Naya buta.
Pernah suatu hari dia mengatakan keinginannya untuk memberikan kornea matanya, sontak aku terkejut dan marah. Namun alas an dan tekadnya membuat ku mengalah meski aku harus rela kehilangan Natan.
* * *
Mata berwarna agak kebiruan itu memang begitu indah, mata yang dulunya selalu ku pandang di wajah tunanganku itu kini berada ditempat lain. Meski sedikit ada rasa tak rela, tapi semua berjalan seperti keinginan terakhir natan.
Hari ini lukisan-lukisan Natan dipamerkan di gallery dengan teman “lukisan terakhir, hati adalah mata ku pandangi lukisan cowok bermata agak kebiruan itu, ya dialah pelukisnya yang tlah pergi dua minggu yang lalu karena pendaharaan yang begitu hebat ia begitu manis dengan kemeja putih serta jas dan dasi berwarna hitam. Dan di sampingnya lagi lukisan seorang cewek bermata sama sambil membawa biola.
Aku tak mampu menahan air mataku. Apalagi ketika Naya berada disampingku, hatiku terasa sakit.
“Hai, kamu Naya!” kusambut tamu istimewa Natan, meski ada kebencian saat kulihat matanya.
“Iya! Anda sendiri, siapa?” Tanya naya dengan sedikit senyum disudut bibirnya.
“Aku Nena, tunangan Natan. Masuklah.”
“Natan, dimana? Kok nggak sabar buat ketemu dia, pingin tahu gimana orangnya.”
Pertanyaan-pertanyaan Naya semakin meremukkan hatiku.
“Dia . . . ikutlah aku dia di dalam lama kami berjalan menuju lukisan wajah Natan dan melewatkan satu persatu lukisan natan.
“Ini Natan!.”
“Maksudmu?Aku kan pingin katemu orangnya bukan lukisan wajahnya.” Ia tersenyum kecil dengan rasa penasaran.”Jangan bercanda, Nen!.”
“Aku tak bercanda! Lihat dia, lihat mata itu ucapku dengan naya. Lama Naya memandangi kedua lukisan itu, ia begitu terkejut ketika tahu bahwa mat itu, ia begitu mirip dengan matanya. Matanya mulai memerah tak mampu menahan gumpalan air yang begitu hangat.
“Mata kami sama!.” Ucapnya terbata.
“Iya!.”Aku hanya bisa menganggukkan kepala. Dia terdiam dan mulai teringat dengan ucapannya suatu hari”Orang yang ingin mendonorkan matanya, tidak boleh dalam keadaan masih hidup. Naya semakin tersudut diantara tanda tnya dibenaknya. Dan akupun berbisik”Natan tlah pergi, ini adalah lukisan terakhirnya untukmu.”
Hatinya semakin menjerit, ia berlari keluar meninggalkan aku dengan linangan air mata sambil membekap mulutnya dengan kedua tangannya. Aku hanya bisa menatap lukisan wajah kekasihku yang tengah tersenyum manis didepanku hidup dalam kedalaman disurga. Dan aku hanya bisa menikmati rasa perih yang tengah bermain disudut luka hatiku.
No comments:
Post a Comment