POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
A. Pengertian Poligami
Kata Monogamy dapat dipasangkan dengan poligami sebagai antonim, Monogamy adalah perkawinan dengan istri tunggal yang artinya seorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan saja, sedangkan kata poligami yaitu perkawinan dengan dua orang perempuan atau lebih dalam waktu yang sama. Dengan demikian makna ini mempunyai dua kemungkinan pengertian; Seorang laki-laki menikah dengan banyak laki-laki kemungkinan pertama disebut Polygini dan kemungkinan yang kedua disebut Polyandry.
Hanya saja yang berkembang pengertian itu mengalami pergeseran sehinggah poligami dipakai untuk makna laki-laki beristri banyak, sedangkan kata poligyni sendiri tidak lazim dipakai.[1]
Poligami berarti ikatan perkawinan yang salah satu pihak (suami) mengawini beberapa lebih dari satu istri dalam waktu yang bersamaan, bukan saat ijab qabul melainkan dalam menjalani hidup berkeluarga, sedangkan monogamy berarti perkawinan yang hanya membolehkan suami mempunyai satu istri pada jangka waktu tertentu.[2]
Poligami adalah suatu bentuk perkawinan di mana seorang pria dalam waktu yang sama mempunyai istri lebih dari seorang wanita. Yang asli didalam perkawinan adalah monogamy, sedangkan poligami datang belakangan sesuai dengan perkembangan akal pikiran manusia dari zaman ke zaman.
Menurut para ahli sejarah poligami mula-mula dilakukan oleh raja-raja pembesar Negara dan orang-orang kaya. Mereka mengambil beberapa wanita, ada yang dikawini dan ada pula yang hanya dipergunakan untuk melampiaskan hawa nafsunya akibat perang, dan banyak anak gadis yang diperjualbelikan, diambil sebagai pelayan kemudian dijadikan gundik dan sebagainya. Makin kaya seseorang makin tinggi kedudukanya, makin banyak mengumpulkan wanita. Dengan demikian poligami itu adalah sisa-sisa pada waktu peninggalan zaman perbudakan yang mana hal ini sudah ada dan jauh sebelum masehi.[3]
Poligami adalah salah satu bentuk masalah yang dilontarkan oleh orang-orang yang memfitnah Islam dan seolah-olah memperlihatkan semangat pembelaan terhadap hak-hak perempuan. Poligami itu merupakan tema besar bagi mereka, bahwa kondisi perempuan dalam masyarakat Islam sangat memprihatinkan dan dalam hal kesulitan, karena tidak adanya persamaan antara laki-laki dan perempuan.
Sebagaimana dikemukakan oleh banyak penulis, bahwa poligami itu berasal dari bahasa Yunani, kata ini merupakan penggalan kata Poli atau Polus yang artinya banyak, dan kata Gamein atau Gamos yang berarti kawin atau perkawinan. Maka jikalau kata ini digabungkan akan berarti kata ini menjadi sah untuk mengatakan bahwa arti poligami adalah perkawinan banyak dan bisa jadi dalam jumlah yang tidak terbatas.
Namun dalam Islam, poligami mempunyai arti perkawinan yang lebih dari satu dengan batasan. Umumnya dibolehkan hanya sampai empat wanita saja.[4]
B. Dasar Hukum Poligami
Yaitu terletak dalam surat An-Nisa` ayat 3
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz wr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz wr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷r& 4 y7Ï9ºs #oT÷r& wr& (#qä9qãès? ÇÌÈ
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil[265], Maka (kawinilah) seorang saja[266], atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Maksudnya berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah. Dan Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. sebelum turun ayat Ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh para nabi sebelum nabi Muhammad SAW. Ayat Ini membatasi poligami sampai empat orang saja.[5]
Dan demikian juga disebutkan dalam surat An-Nisa` ayat 129, Allah SWT berfirman:
`s9ur (#þqãèÏÜtFó¡n@ br& (#qä9Ï÷ès? tû÷üt/ Ïä!$|¡ÏiY9$# öqs9ur öNçFô¹tym ( xsù (#qè=ÏJs? ¨@à2 È@øyJø9$# $ydrâxtGsù Ïps)¯=yèßJø9$$x. 4 bÎ)ur (#qßsÎ=óÁè? (#qà)Gs?ur cÎ*sù ©!$# tb%x. #Yqàÿxî $VJÏm§ ÇÊËÒÈ
Artinya: Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Sejak masa Rasulullah SAW , Sahabat, Tabi`in, periode Ijtihad dan setelahnya sebagian besar kaum Muslimin memahami dua ayat Akhkam itu sebagai berikut:
1. Perintah Allah SWT, “maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi”, difahami sebagai perintah ibahah (boleh), bukan perintah wajib. Seorang muslim dapat memilih untuk bermonogami (istri satu) atau berpoligami (lebih dari satu). Demikianlah kesepakatan pendapat mayoritas pendapat mujtahid dalam berbagai kurun waktu yang berbeda.
2. Larangan mempersunting istri lebih dari empat dalam waktu yang bersamaan, sebagaimana dalam firman Allah “maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat”. Menurut alqurtuki, pendapat yang memperkenankan poligami lebih dari empat dengan pijakan nash di atas, adalah pendapat yang muncul karena yang bersangkutan tidak memahami gaya bahasa dalam al-qur`an dan retorika bahasa arab.
3. Poligami harus berlandaskan asas keadilan, sebagaimana firman Allah, “kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.“ (qs. An-nisa`: 3) seseorang tidak dibolehkan menikahi lebih dari seorang istri jika mereka merasa tidak yakin akan mampu untuk berpoligami. Walaupun dia menikah maka akad tetap sah, tetapi dia berdosa terhadap tindakannya itu.
4. Juga sebagaimana termaktub dalam ayat yang berbunyi, “dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian”. adil dalam cinta diantara istri-istri adalah suatu hal yang mustahil dilakukan karena dia berada di luar batas kemampuan manusia. Namun, suami seyogyanya tidak berlaku dzolim terhadap istri-istri yang lain karena kecintaannya terhadap istrinya.
5. Sebagian ulama` penganut madzhab syafi`I mensyaratkan mampu member nafkah bagi orang ayaang akan berpoligami. Persyaratan ini berdasarkan pemahaman imam syafi`I terhadap teks al`qur`an, “yang demikian itu adalah lebih cddekat kepada tidak berbuat aniaya”. Yang artinya agar tidak memperbanyak anggota keluarga. Di dalam kitab “akhkam al-qur`an”, imam baihaqi juga mendasarkan keputusannya terhadap pendapat ini serta pendapat yang lain. Dalam pemahaman madzhab syafi`I jaminan yang mensyaratkan kemampuan memmberi nafkah sebagai syarat poligami ini adalah syarat diyanah (agama) maksudnya bahwa jika yang bersangkutan tahu bahwa dia tidak mampu member nafkah bukan syarat putusan hukum.[6]
Dan adalagi yang menyebutkan bahwa poligami itu mubah (dibolehkan) selama seorang mu`min tidak akan khawatir akan aniaya. Dilarang poligami untuk menyelamatkan dirinya dari dosa. Dan terang pula bahwa boleh berpoligami itu tidak bergantung kepada sesuatu selain anaiaya (tidak jujur), jadi tidak bersangkutan dengan mandul istri atau sakit yang menghalanginya ketika tidur dengan suaminya dan tidak pula karena banyak jumlah wanita.[7]
DAFTAR PUSTAKA
Sabiq, Sayid. Fiqih Sunnah 6. Bandung: PT Al Ma`arif. 1980
Shahrur, Muhammad. Metodologi Fiqih Islam Kontemporer. Yogyakarta: Elsaq Press. 2004
Shaltut, Syeckh Mahmud. Akidah Dan Syari`ah Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 1984
Hasan, Ali. Masail Fiqhiyah Al Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 1996
Al Habsyi, Bagir. Fiqih Praktis. Bandung: Mizan. 2002
Kamal, Musthafah. Fiqih Islam. Jakarta: Citra Karsa Mandiri.
Mas`ud, Ibnu dan Abidin, Zainal. Fiqh Madzhab Syafi`i. Bandung: CV Pustaka Setia. 2000
Doi, A. Rahman I. Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (syari`ah). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2002
Malik Bin Anas. Al Muwaththa` Imam Malik. Jakarta: Buku Islam Rahmatan. 2006
Poerwadarminto. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 1982
Anhari, Masjkur. Usaha-Usaha untuk Memberikan Kepastian Hukum Dalam Perkawinan. Surabaya: Diantama. 2007
[1] Achmad Kuzari, nikah sebagai perikatan, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1995), hal 159
[2] Al-qamar Hamid, Hukum Islam Alternative Terhadap Masalah Fiqh Kontemporer, (Jakarta: Restu Ilahi, 2005), hal 19
[3] Aisjah Dahlan, Membina Rumah Tangga Bahagia, Cet 1. (Jakarta: Jamunu, 1969), hal 69
[4] Khoiruddin Nasution, Riba Dan Poligami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Dengan Academia, 1996) hal. 84
[5] Alquran terjemah
[6] Fada Abdul Razak Al-Qoshir, Wanita Muslimah Antara Syari`At Islam Dan Budaya Barat, (Yogyakarta: Darussalam Offset, 2004) hal. 42-45
[7] Ibid. hal 200
mengunjungi blog yang bagus dan penuh dengan informasi yang menarik adalah merupakan kebahagiaan tersendiri.... teruslah berbagi informasi
ReplyDelete