Friday, June 17, 2011

BUDAYA POLITIK


ASPEK-ASPEK KEBUDAYAAN POLITIK
YANG MEMPENGARUHI PENJABARAN DEMOKRASI PANCASILA
KE DALAM BENTUK NILAI-NILAI POLITIK

Untuk melihat aspek-aspek kebudayaan politik yang bagaimana mempengaruhi Demokrasi Pancasila, ada satu prinsip kebudayaan yang telah berhasil diberikan oleh Orde Baru untuk menyaring aspek-aspek tersebut yaitu keselarasan, keserasian, dan keseimbangan. Pola sikap dan tingkah laku dalam kehidupan politik yang bersifat serasi, selaras dan seimbang yang ditemukan adalah berupa kristalisasi dari beberapa aspek kebudayaan politik tradisionil. Kristalisasi aspek Kebudayaan Politik tradisionil yang maksudkan adalah:
1.      Aspek Variasi kebudayaan politik yang dipengaruhi oleh seluruh sub-culture di seluruh tanah air.
2.      Aspek Demokrasi yang dipengaruhi oleh praktek-praktek demokrasi yang berlaku di desa-desa di seluruh tanah air.
3.      Aspek nilai-nilai kekeluargaan dan gotong-royong yang terdapat di seluruh kelompok etnis/kelompok adat istiadat di seluruh tanah air.

1.      Aspek Variasi kebudayaan politik yang dipengaruhi oleh seluruh sub-culture di seluruh tanah air.
Hildred Geertz melukiskan bahwa sebagian besar dari masyarakat Indonesia masih tetap mempunyai bentuk tradisionalnya, walaupun itu hanya bersifat “variasi”. Kesadaran akan variasi ini (lain padang, lain bela1ang, lain lubuk, lain ikannya) amat menonjol dan terdapat di mana-mana di kalangan rakyat Indonesia, karena mereka telah hidup dengan kebhinekaan etnis selama ribuan tahun lamanya. Kesadaran akan ketidaksamaan ini mempunyai dua segi, pertama perasaan bahwa seseorang mempunyai identitas kebudayaannya tersendiri yang khas, dan yang kedua adalah sikap toleransi terhadap adat kebiasaan orang lain.
Bila diteliti lebih1anjut, kenapa sampai terdapat kesadaran akan variasi kebudayaan tersebut, yang meliputi perasaan bahwa seseorang mempunyai identitas kebudayaannya sendiri yang khas dan sikap toleransi terhadap adat kebiasaan orang lain? Alasan yang diberikan oleh Hildred Geertz di atas mereka (karena mereka hidup dengan kebhinekaan etnis selama ribuan tahun lamanya) dapat dilengkapi dengan alasan yang lain. Adat-istiadat setempat dari pelbagai kelompok etnis tersebut bersifat otonom dan tidak mempunyai dimensi mengenai hal-hal yang berhubungan dengan kekuasaan negara/ nasional Kekuasaan dalam adat istiadat tersebut diatur oleh adat-istiadat setempat, dan hanya mempunyai ikatan terhadap keturunan dan kelompok etnis yang bersangkutan.
Untuk kelestarian adat-istiadat ini yang berlaku adalah “prinsip pewarisan nilai-nilai” yang sifatnya mengikat secara kekeluargaan. Dan satu pengalaman yang terpenting adalah bahwa untuk diangkat menjadi pemimpin/ kepala dipakai jalur demokrasi, walaupun dalam membicarakan masalah adat-istiadat tetap dituntut prinsip musyawarah untuk mufakat. Yang menjadi patokan utama untuk tampilnya seorang menjadi kepala adat adalah tergantung dari suksesnya seseorang dalam mengikuti dan melaksanakan “proses pewarisan nilai-nilai”. Misalnya dalam adat istiadat Batak ada prinsip yang sudah mendarah daging yaitu yang berbunyi sebagai berikut “Ompunta na jolo martung kathon salagun di, na pinungka ni a parjolo ihuthoton ni parpudi” (Artinya kira-kira sebagai berikut: Apa-apa nilai-nilai yang diwariskan oleh para leluhur haruslah diikuti oleh generasi penerus). Yang paling aktif dalam mengikuti pewarisan tersebut, dengan sendirinya akan didaulat menjadi pemimpin. Masalah pewarisan nilai ini pada setiap kelompok etnis di Indonesia sudah membudaya. Bahkan dapat dirumuskan bahwa terlaksana pewarisan nilai-nilai merupakan jaminan akan terlestarikannya azas kekeluargaan dan gotong-royong. Aspek variasi kebudayaan politik ini mempunyai pengaruh dalam terlaksananya Demokrasi Pancasila, antara lain nampak dalam usaha yang disebut sebagai “regenerasi”. Karena bila usaha regenerasi ini tidak terlaksana secara sempurna efeknya ialah Demokrasi Pancasila kehilangan azas kekeluargaan yang ash, yang sesuai dengan identitas bangsa. Regenerasi adalah konsekuensi logis dan paham keke1uargaan, yang menuntut poses pewarisan nilai-nilai.

2.      Aspek Demokrasi yang dipengaruhi oleh praktek-praktek demokrasi yang berlaku di desa-desa di seluruh tanah air.
Sudah menjadi suatu pola tingkah laku yang membudaya bahwa antara kepala desa dan kepala adat/marga selalu terpelihara keserasian dan keseimbangan. Masyarakat desa tidak akan dapat diteliti strukturnya secara utuh dan benar bila kedua permasalahan di atas tidak dapat dibedakan. Jadi bila diteliti mengenai bagaimana wujud dari demokrasi pedesaan yang dimaksud, tidaklah cukup hanya dengan meneliti pemerintahan desa saja, tetapi jug harus diteliti mengenai adat-istiadat setempat yang berpengaruh terhadap kelangsungan pemerintahan desa. yang mempengaruhi rumusan yang terdapat dalam Demokrasi Pancasila, yaitu mengenai prinsip keserasian, keselarasan dan keseimbangan, serta prinsip musyawarah untuk mufakat dalam kekeluargaan.
Jadi dalam praktek-praktek demokrasi di desa-desa, terdapat dua jalur untuk menjadi pemimpin di masyarakat desa. Pertama, jalur yang dilalui adalah berdasarkan pengangkatan tanpa dipilih melalui pemungutan suara. Jalur ini dipakai untuk menjadi pemimpin dalam adat-istiadat. Kedua, jalur yang dilalui adalah berdasarkan pemungutan suara (pemilihan). Jalur ini dipakai untuk pemilihan kepala desa. Aspek ini jelas kelihatan pengaruhnya dalam pelaksanaan Demokrasi Pancasila yang tampak dalam susunan keanggotaan MPR: ada yang berdasarkan pengangkatan dan ada pula yang berdasarkan pemungutan suara (PEMILU).

3.      Aspek nilai-nilai kekeluargaan dan gotong-royong yang terdapat di seluruh kelompok etnis/kelompok adat istiadat di seluruh tanah air.
Aspek nilai-nilai kekeluargaan dan gotong-royong ini mempunyai pengaruh yang besar dalam merumuskan sistem nilai Demokrasi Pancasila. Bahkan oleh Orde Baru disimpulkan bahwa nilai-nilai yang lain dari Demokrasi Pancasila dikonsentrasikan kepada azas kekeluargaan dan gotong-royong. Bila pencapaian nilai-nilai yang diutamakan tersebut tidak diwarnai oleh paham kekeluargaan dan gotong-royong, maka terjadilah keterasingan dan kejanggalan dengan nilai budaya yang mendasari Demokrasi Pancasila tersebut. Efeknya ialah sistem nilai yang diutamakan tersebut sudah membudaya dalam tingkah laku politik.
Dalam pelaksanaannya semangat kekeluargaan itu diartikan sebagai gotong-royong dalam mengusahakan suatu pekerjaan untuk kepentingan bersama, dan semangat kekeluargaan itu akan meliputi persatuan dan kesatuan seluruh bangsa Indonesia. Lebih lanjut untuk menerangkan gotong-royong sebagai pelaksanaan dari pada semangat kekeluargaan, Soekarno dalam pidato “Lahirnya Pancasila” menerangkan: “Gotong-royong adalah paham yang dinamis, lebih dinamis dari pada “kekeluargaan”. Kekeluargaan adalah satu paham yang statis, tetapi gotong-royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan bersama-sama. Gotong-royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu membantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, Holopis-kuntulbaris buat kepentingan bersama, itulah Gotong-Royong”.
Kemudian dalam penelitiannya mengenai gotong-royong, Koentjoroningrat mengemukakan, bahwa: Gotong-royong pengertiannya secara umum adalah kerja sama antara anggota masyarakat. Kadang-kadang diberi penekanan yang berbeda:
-       Sikap spontan dari rakyat yang berpartisipasi.
-       Sutu keinginan memelihara lingkungan dengan baik.
Keadaan ini menjadi suatu kebiasaan di dalam masyarakat pedesaan di Indonesia. Menurut Koentjoroningrat, tipe gotong-royong adalah:
a.       Kasus Kematian.
b.      Sesuatu Kepentingan Umum.
c.       Kepentingan Sosial dan Institusi Sosial.
d.      Terletak pada kebiasaan masyarakat Indonesia.
e.       Di Persawahan.
f.       Jika dibutuhkan untuk membangun rumah.
g.      Dikerjakan oleh kaum buruh.
Perlu ditambahkan pula bahwa sikap spontan dan rakyat yang berpartisipasi yang menyangkut kepentingan umum tidak saja terbatas dalam memberikan tenaganya untuk turut bekerja, tetapi juga seringkali memberikan dana, baik berupa materi maupun uang. Misalnya hal ini dapat dilihat di waktu masa gerilya/perang melawan Penjajahan Belanda: Untuk membantu para pejuang, secara gotong-royong disumbangkan bahan makanan maupun dalam bentuk uang. Jadi gotong-royong tidak selamanya berarti hanya dalam hal “turut bekerja” atau memberi tenaga. Dengan demikian terdapat dua pilihan untuk turut bergotong-royong. Kalau bukan dengan tenaga, yah dengan dana. Golongan atas yang tidak berkesempatan untuk turut kerja bakti misalnya, mempunyai pilihan untuk memberikan dana saja. Pengaruh dari aspek gotong-royong ini dalam Demokrasi Pancasila kelihatannya masih belum begitu mantap. Hal ini disebabkan oleh kesalahpahaman mengenai arti gotong-royong, yang sering masih diartikan sebagai kerja bakti saja untuk membersihkan selokan-selokan parit di perkampungan-perkampungan. Sebenarnya untuk mengukur sejauh mana tingkah laku gotong-royong ini sudah mantap dan masih membudaya, dalam zaman modern hal ini dapat dilihat dan kesadaran rakyat untuk “membayar pajak” kepada negara.
Salah satu pengaruh dan aspek gotong-royong ini yang sudah mulai kelihatan adalah misalnya: Proyek Kebersihan dalam lingkungan DKI Jakarta, Proyek Lingkungan Hidup di seluruh tanah air, pengumpulan dana untuk kepentingan Kampanye PEMILU, pengumpulan dana oleh para pelajar untuk PMI.
Setelah ketiga aspek di atas diuraikan satu persatu, timbul pertanyaan bagaimana menjabarkan keharmonisan dari ketiga aspek di atas (aspek variasi kebudayaan, demokrasi pedesaan, dan nilai-nilai kekeluargaan dan gotong-royong) dalam mewujudkan satu warna Demokrasi Pancasila? Kiranya hal ini sudah digariskan oleh Ketetapan MPR RI No. IV/MPR/1978 yang berbunyi sebagai berikut: “Pembangunan Politik diarahkan untuk perwujudan Demokrasi Pancasila”. Mengapa pembangunan politik di arahkan untuk perwujudan Demokrasi Pancasila? Salah satu alasan adalah karena ketiga aspek yang berbudaya di atas pernah dirusak oleh zaman penjajahan dan zaman Orde Lama.
v  Budaya yang Mempengaruhi Demokrasi
Budaya yang mempengaruhi demokrasi, di antaranya:
1.      Patronase (kecenderungan kepada seorang tokoh yang berpengaruh).
2.      Main Hakim Sendiri.
3.      Unjuk Rasa Mahasiswa.
4.      Gotong-royong.
v  Dampak Budaya terhadap Demokrasi
1.      Patronase
Dampak Positifnya:
Bagi tokoh, menggunakan menggunakan pengikut sebagai legitimasi.
Dampak Negatifnya:
Demokrasinya adalah Demokrasi Elit. Bagi pengikut, apa yang diperoleh oleh tokoh belum tentu untuk pengikut, meskipun dapat tapi cuma sedikit.
2.      Main Hakim Sendiri
Dampak Positifnya:
Bagi kaum Elit, yang melanggar hukum sanksinya mungkin hanya hukuman dari negara.
Dampak Negatifnya:
Bagi kaum/masyarakat biasa yang melanggar norma/adat/hukum, sanksinya bukan hanya hukuman dari negara tapi mereka bahkan bisa menjadi korban amukan massa.
3.      Unjuk Rasa Mahasiswa
Dampak Positifnya:
Mereka mampu merubah wajah dunia.

Dampak Negatifnya:
Mengganggu stabilitas keamanan.
Hanya berbekal keberanian saja, tapi kekurangan konsep dan perhitungan yang matang.
4.      Gotong-Royong
Dampak Positifnya:
Adanya ikatan antara satu sama lain.
Dampak Negatifnya:
Mereka tidak akan mandiri.



ANALISIS

Setelah kami mengenal isi dari beberapa referensi yang kami baca, di Indonesia ada beberapa budaya yang itu sangat berhubungan erat dengan demokrasi, yaitu:
1.      Patronase
Sudah menjadi budaya yang melekat di kalangan masyarakat, khususnya di pedesaan yang masyarakatnya mengikuti tokoh/pemimpin/siapa pun yang berpengaruh di situ. Contohnya seorang Kyai yang menjadi partai tradisi masyarakat yang mengikuti tokoh elit. Demokrasi yang seperti ini adalah Demokrasi Elit.
2.      Main Hakim Sendiri
Tidak jauh beda dengan budaya Patronase yaitu budaya Main Hakim Sendiri. Budaya yang seperti ini akan memberikan dampak yang sangat signifikan. Contohnya, seorang yang mencuri ayam dan tertangkap oleh masyarakat, mereka akan menghakimi pencuri tersebut tanpa ampun. Seorang pencuri tersebut bukan cuma mendapat hukuman dari masyarakat, tapi si pencuri tersebut juga menerima hukuman dari negara. Lain halnya dengan seorang koruptor memang mendapat hukuman, tapi si koruptor tersebut masih menghuni jeruji besi yang di dalamnya dilengkapi dengan perlengkapan yang lengkap. Contoh kasur yang layak pakai, dan mereka masih diistimewakan. Lain lagi halnya dengan rakyat biasa yang mendapat hukuman, selain ditaruh di tempat yang kotor, mereka juga dicampakkan.
3.      Unjuk Rasa Mahasiswa
Setelah kurang lebih 8 tahun dunia mahasiswa tenang-tenang saja “tidur nyenyak”, tidak cuap-cuap menyanyikan suara sumbang, memprotes kebijakan-kebijakan pemerintah seperti tahun 70-an, mengawali tahun 1989 mereka kembali menjadi sorotan dan perhatian dari berbagai kalangan khususnya kaum akademi, politisi dan pejabat pemerintahan karena para siswa yang Maha itu bangun dari tidurnya untuk berkaok-kaok yang lebih dikenal dengan Aksi Unjuk rasa.
Terlepas dari apa yang menjadi isu unjuk rasa dan berhasil tidaknya unjuk rasa tersebut, yang jelas tindakan tersebut (unjuk rasa) atau aksi protes itu sendiri mampu mengundang komentar dan tanggapan dari berbagi pihak. Hal ini karena mahasiswa sebagai kelompok elit kawula muda atau Agen of Change yang mempunyai kelebihan dalam hal daya kritis, daya nalar, keberanian dan solidaritas yang tinggi apabila menyingsingkan lengan baju bergerak dengan poster, pamflet dan berteriak di jalan dapat menimbulkan suasana yang dapat mengganggu stabilitas keamanan atau “merubah wajah dunia”. Aksi mahasiswa yang dapat membuat situasi runyam, yang kadang-kadang para mahasiswa itu hanya berbekal keberanian saja dan kurang bekal konsep serta perhitungan yang matang.
4.      Gotong-Royong
Gotong-royong dapat menimbulkan dampak yang positif dan negatif. Kebiasaan di masyarakat yaitu saling bahu membahu antara satu sama lain sehingga mereka mempunyai ikatan yang sangat erat antara satu sama lain. Sementara di lain sisi mereka tidak mungkin dapat mandiri kalau terus-menerus bergantung kepada orang lain.

DAFTAR PUSTAKA

Sihombing, Frans Bona, Demokrasi Pancasila dalam Nilai-Nilai Politik, Jakarta: Erlangga, 1984.
Siswanto, Joko, “Reaksi Intelektualitas untuk Demokrasi”, Sriwijaya Post, 28 Februari 2005
Tiro, Hasan Muhammad, Demokrasi untuk Indonesia, Teplok Press.
Najib, Muhammad, Demokrasi dalam Perspektif Budaya Nusantara, LKPSM, Februari 1996.
Doel van Den, Tobing, Demokrasi dan Teori Kemakmuran, Jakarta: Erlangga, 1988.

No comments:

Post a Comment