Friday, June 17, 2011

PEMIKIRAN PROGRESIF


PENDAHULUAN

Pemikiran progresif dalam peta wacana keislaman di Indonesia dalam satu dasawarsa terakhir merupakan fenomena penting untuk dicermati bersama. Hal ini tidak saja dikarenakan produk yang dihasilkan dari wacana tersebut, melainkan juga respons yang muncul terhadapnya. Dilihat dari produk, munculnya sindikasi gerakan pemikiran keislaman, terutama dari kalangan muda Ormas Islam merupakan salah satu indikator. Diantaranya adalah Jaringan Islam Liberal (JIL), sindikasi yang oleh banyak kalangan dianggap mempresentasikan kelompok anak muda NU karena faktor Ulil Abshar Abdalah di dalamnya, Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) ditilik dari namanya merupakan wadah bagi generasi Muhammadiyah, belum lagi kelompok yang menamakan dirinya Post-Tradisionalisme Islam (POSTRA). Ketiga kelompok ini menunjukkan greget dalam peta pemikiran keislaman di Indonesia dengan melihat produk dan kampanye yang menjadi concern masing-masing.




PEMBAHASAN

A.    Seputar Istilah Liberal Dan Dunia Pemikiran
1.      Liberal (isme)
Kata liberal berasal dari kata Latin “libber” yang artinya bebas, bebas atau merdeka, bandingkan dengan kata liberty, kemerdekaan. Ensiklopedia Britannica 2001 Deluxe Edition CD-Rom, menjelaskan bahwa kata liberal diambil dari bahasa Latin “libber”, free. Liberalisme secara etimologis, berarti falsafah politik yang menekankan nilai kebebasan individu dan peran negara dalam melindungi hak-hak warganya. Oxford English Dictionary menerangkan bahwa perkataan liberal telah lama ada dalam bahasa Inggris dengan makna sesuai dengan untuk orang bebas, besar, murah hati murah hati dalam seni liberal.
Dalam Islam, khususnya ranah politiknya, terdapat dua jenis liberalisme, pertama, kelompok yang berpandangan bahwa ide negara Islam liberal dimungkinkan dan diperlukan karena Islam memiliki semangat yang demokratis dan liberal, dan terutama, karena di bidang politik, Islam tidak banyak memiliki ketentuan khusus. Sedikit atau tidak, memiliki ketentuan mengenai lembaga politik, dan tidak banyak tuntunan keagamaan yang diwajibkan pengalamannya kepada otoritas politik masa kini atau unsur-unsur dibawanya.[1]
Elemen-elemen yang terkait dalam liberalisme antara lain adalah sekularisme, modernitas, demokrasi, pluralisme dan HAM.
1.      Sekularisme
Sekularisme dalam penggunaan masa kini secara garis besar adalah sebuah ideologi yang menyatakan bahwa sebuah institusi atau badan harus berdiri terpisah dari agama atau kepercayaan. Sekularisme dapat menunjang kebebasan beragama dan kebebasan dari pemaksaan kepercayaan dengan menyediakan sebuah rangka yang netral dalam masalah kepercayaan serta tidak menganakemaskan agama tertentu.
2.      Modernitas
Modernitas zaman modern di Eropa ditandai oleh hilangnya lembaga-lembaga politik warisan abad Pertengahan. Orthodoxy dominan dalam masyarakat, yaitu kalangan bangsawan dan agamawan, sementara itu, pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan ikut mengubah cara hidup (way of life) manusia secara drastis.[2]
Modernitas yang muncul di Barat pada dasarnya berintikan pandangan dunia, weltanschauung, yang berorientasi pada kemajuan. Modernitas adalah upaya untuk bisa keluar dari era kegelapan Barat Abad Pertengahan. Proyek modernitas yang bermuara pada kapitalisme dan individualisme serta kebangkitan Barat terangkum dalam apa yang disebut grand-narrative, misalnya, bahwa pengetahuan senantiasa bersifat obyektif, netral, bebas nilai; bahwa manusia merupakan subyek, sementara alam menjadi obyek; bahwa pengetahuan kita terhadap realitas adalah positif.
3.      Demokrasi
Walaupun istilah demokratis telah dikenal sejak abad ke-5 Masehi sebagai respons terhadap pengalaman buruk monarki dan kediktatoran di negara-negara kota Yunani Kuno, namun ide-ide dekorasi modern baru berkembang dimulai pada abad ke-16 Masehi. Tradisi tersebut adalah ide-ide skularisme yang diprakarsai oleh Niccolo Machiavelly (1469-1527).[3]
4.      Pluralisme
Dalam The Oxford English Dictionary, pluralisme berarti sebuah watak untuk menjadi plural, dan dalam ilmu politik didefinisikan sebagai:
a)      Sebuah teori yang menentang kekuasaan monolitik negara dan bahkan menganjurkan untuk meningkatkan pelimpahan dan otonomi organisasi-organisasi utama yang mewakili keterlibatan seseorang dalam masyarakat. Juga percaya bahwa kekuasaan harus dibagi di antara partai-partai politik yang ada.
b)      Keberadaan toleransi keragaman kelompok-kelompok etnis dan budaya dalam suatu masyarakat atau negara, keragaman kepercayaan atau sikap yang ada pada sebuah badan atau institusi, dan sebagainya.[4]
5.      Hak Asasi Manusia
Manusia diciptakan dengan dikaruniai hak dan kewajiban. Hak itu yang merupakan hak biasa dan ada pula hak asasi. Hak asasi manusia bersifat umum tetapi selalu bersandar pada dua hal yang sangat mendasar, yaitu kebebasan dan persamaan.
Dalam Al-Qur'an terdapat ayat, yakni Surat Al-Isra’ [17] ayat 70, yang isinya mengandung pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia sebagai hak dasar yang diberikan oleh Allah. Prinsip ini meliputi tiga hal pokok, yaitu persamaan manusia, martabat manusia, dan kebebasan manusia.
Dari paparan di atas, setidaknya bisa ditarik benang merah point penting, bahwa liberal dan liberalisme memiliki beberapa aspek atau unsur penting, yakni memberikan kebebasan individu untuk (1) beragama dan menganut keyakinan; (2) berpendapat atau mengeluarkan opini; (3) berperilaku; serta (4) berkaitan dengan kepemilikan.[5]



PENUTUP

Kesimpulan
1.      Liberalisme secara etimologis berarti falsafah politik yang menekankan nilai kebebasan individu dan peran negara dalam melindungi hak-hak warga negaranya.
2.      Sekularisme, sebuah ideologi yang menyatakan bahwa sebuah institusi atau badan harus berdiri terpisah dari agama atau kepercayaan.
3.      Modernitas, kalangan bangsawan dan agamawan, sementara itu pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan.
4.      Demokrasi, telah dikenal sejak abad ke-5 Masehi sebagai respons terhadap pengalaman buruk monarki dan kediktatoran di negara.
5.      Pluralisme, teori yang menentang kekuasaan monolitik negara dan bahkan menganjurkan untuk meningkatkan pelimpahan.


DAFTAR PUSTAKA

Dr. Phil. H.M. Setiawan Nurcholis, 2008, Akar-Akar Pemikiran Progresif dalam Kajian Al-Qur'an, Depok Sleman Yogyakarta: Penerbit eLSAQ Press Komplek POLRI Blok D2 No. 186 Gowok.
http://www.google.com


[1] Binder, Islamic, hlm. 243.
[2] Rifyal Ka'bah, “Modernisme dan Fundamentalisme Ditinjau dari Konteks Islam”, dalam Jurnal Ulumul Qur'an (nomor 1, Volume V Tahun 1994), hlm. 25.
[3] Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna: Respons Intelektual Muda Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi (1966-1993) (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), hlm. 71-72.
[4] J.A. Simpson dan E.S.C. Wiener, The Oxford English Dictionary Vol. XI, (Oxford: Clarendon Press, Edisi ke-2, 1989), hlm. 1089.
[5] Muhammad Taufiq NIQ, “Islam dan Liberalisme, Adakah Korelasinya?”, dalam http://www.dudung.net/index.php?noon=depan & action=detail & id=314&cat=2, diakses pada tanggal 16 Januari 2008.

No comments:

Post a Comment