Monday, June 6, 2011

Masa lalu (memory) -------------cerpen bagian 3

Masa lalu (memory)
Malam ini adalah malam yang ku tunggu, malam tahun baru. Malam dimana biasanya aku merayakan ulang tahun.
            Di alun-alun kota diadakan konser musik untuk menyambut tahun baru. Seperti tahun-tahun yang lalu, konser itu selalu diadakan besar-besaran dan dimeriahkan band-band papan atas.
            Tepat pukul sepuluh malam konser itu dimulai. Akhirnya acara yang ditunggu-tunggu penonton sejak tadi dimulai juga. Konser itu selalu berjalan damai tanpa ada kericuhan sedikitpun.
            Konser itu sudah dimulai, Namun entah mengapa orang yang ku tunggu tidak juga datang ku arahkan pandanganku ke segala arah, Namun dia tidak ku temukan. Tidak lama kemudian ponsel ditasku berbunyi cepat-cepat aku mengambilnya dan membaca pesannya.
            ”Sayang... maaf!malam ini aku tak bisa menemuimu. Nanti pulang sendiri ya...!
            Happy Birthday !.”
Ternyata dia yang kutunggu tidak bisa datang. Tidak seperti biasanya dia merayakan tahun baru bersama orang lain.
            Aku mulai berjalan kedepan agar lebih menikmati konser itu. Satu persatu ku potret mereka yang ada diatas panggung. Hingga sampai saat band kesayanganku yang ada diatas panggung ”ANGELS BAND”. Aku sangat menyukai mereka sejak SMU. Setiap lirik dan lagunya membuatku tetap bersemangat untuk tetap jalani hidup.
            Tepat tengah malam kembang api diluncurkan, langit biru yang bertabur jutaan bintang itu, tampak lebih indah takkala kembang api ikut menghiasi canda tawa penonton bersatu padu bersama letusan kembang api.
            Konser itu benar-benar berjalan damai. Alun-alun yang tadinya ramai dan dipenuhi penonton kini nampak sepi sekali mungkin hanya aku tinggal aku yang masih di alun-alun sampai menungu kendaraan dipinggir jalan. Namun tidak satu pun kendaraan yang lewat. Jalan benar-bena rsepi.
            Sempat terlintas di pikiranku mungkin aku tidak akan pulang malam ini dan tidur disini sampai pagi. Namun tiba-tiba sebuah mobil berhenti tepat didepanku, suara dari dalam mobil itu membuyarkan pikiranku.
            ”Hai nona..... Bolehkah aku memberimu tumpangan?.”
            “Terima ksih!.”
           

 “Ayolah Nona, Naiklah kau tak mau tidur disini kan! Karena kendaraan baru ada setelah subuh.”
            ”Tapi...kita belum saling kenal, tidak mungkin aku menumpang mobilmu.”
            ”Kalau begitu kita kenalan saja. Namaku Rama, nama kamu siapa?.” ucapnya sambil mengulurkan tangan.
            ”Namaku sayang.”Balasku sambil menjebak tangannya.
Rama adalah cowok yang cukup tinggi, lucu dan humoris. Dan dia juga seorang bassis dari ANGELS BAND.
            ”Kita sudah saling kenal kan! Sekarang masuklah.”
            ”Terima kasih.”salah satu dari mereka turun dan mempersilakan masuk dan diikuti dia, mobilpun dijalankan, melaju dengan cepat.
            Sepanjang perjalanan aku dan rama bercakap-cakap.” Sayang... kamu sebenarnya tahu tentang kami kan?.” Aku hanya menganggukkan kepala. Siapa yang tak kenal mereka cowok-cowok keren dari ANGELS BAND yang tak pernah absen tiap kali ada acara menyambut tahun baru. ”Tapi tak apa-apa kan bila ku kenalkan mereka padamu?.” ku anggukkan kepalaku lagi.
            ”Yang mengemudi ini, namanya Rian.”
Rian adalah seorang cowok bertubuh tinggi berkulit sawo matang, tidak suka banyak tertawa dan lebih sering serius. Dia juga seorang keyboardis dari ANGELS BAND.
            ”Yang duduk disebelah kirimu, namanya marshel.” Marshel adalah seorang cowok yang mempunyai senyum khas, tapi sulit sekali mengembang dibibirnya. Ia lebih mirip rian. Dia juga seorang gitaris ANGELS BAND.
            ”Yang duduk dikananmu... kamu tentu tahu!!! Namanya kira.”Siapa yang tak kenal kira, cowok tampan, manis bertubuh tinggi. Namun agak ngambek. Dia vokalis ANGELS BAND.
            Kami saling berjabat tangan, namun ketika ku ulurkan tanganku ke arah kira, ia hanya diam.
            ”Sudahlah sayang, dia memang begitu. Maklumlah dia baru putus, patah hati mungkin!.” ucap rama mencoba merubah agar keadaan lebih baik.
            Sesekali ku pandang wajah kira. Tak sedikitpun ia berara pandangannya kosong. Memang sekitar satu minggu yang lalu, semua acara infotainment menghadirkan kabar tentang putusnya hubungan kira dengan pacarnya. Tak ayal perpisahan itu membuatnya seperti orang yang kehilangan akal, karena mereka pacaran hampir tiga tahun.
           

Suasana didalam mobil seolah tidak berpenumpang, begitu sepi. Tiba-tiba rama memecah kesunyian.
            ”Sayang...kau mengingatkan aku pada seseorang!.”ucap rama dengan mengarahkan pandangannya kepadaku.
            ”Siapa?.” Tanyaku penasaran.
            ”Seorang penulis Novel!.”
            ”Penulis Novel yang mengkisahkan kasih sayang seorang ayah terhadap anaknya.”
Ucap Rian ikut bicara.
            ”Dia kan, tergila-gila dengan penulis novel itu.”Marshel menyahut.
            ”Sayang kusuma.”ucapku menyebur namaku sendiri.
            ”Iya!.” mereka berbarengan. Aku hanya bisa tersenyum melihat mereka begitu kompak.

            Tapi aku masih tak percaya Rama begitu suka suka dengan Novel itu. Novel tentang kasih sayang ayah terhadap anaknya. Anak itu tidak lain adalah aku.
            ”Aku Benci!.”suasana itu.
            ”Kira!. Ucapku lirih.
            ”Aku benci Novel itu, mungkin bagimu itu indah, tapi bagiku itu derita.”Ia tak memandangku. Kata-katanya begitu menyakiti aku.
            ”Sayang.....jangan dengarkan dia. Dia memang tak suka membaca, apalagi memahami isi buku.” Ucap rama mencoba menenangkanku.
            “Jadi, kamu penulis novel itu.”
            “Iya, Sayang Kusuma Riano.”
            “Ternyata sayang memang cantik.
Lebih cantik dari yang ku kira.”mulai lagi sifat rama yang suka memuji berlebihan itu muncul. Kami semua mulai akrab.”sayang kita** foto berdua, yuk!!!.”
            “Besok saja, lagi pula kamu didepan sedangkan aku dibelakang. Dia cemberut.
            Tak lama kemudian sampai juga di rumah. Sebelum mereka pergi aku mengucapkan terima kasih kepada mereka. Cepat-cepat kulangkahkan kakiku ke kamar sahabatku, Namun ia ada mungkin belum pulang.
            Malam ini begitu melelahkan, namun tetap menjadi hari indah ku rebahkan tubuhku diatas kasur ku pejamkan mata perlahan dan kumulai tertidur.
           

Pagi yang cerah, mentari mulai menyapa sinarnya menerobos diantara celah-celah tirai jendela kamar. Rasanya aku malas untuk turun dari panjang konser tadi malam benar-benar membuatku lelah.
            Ku dengar suara langkah kaki sedang menuju kesini.
            ”Sayang... Happy Birthday!”. ucapnya sambil menggerak-gerakkan tubuhku.” Ayo bangun ini sudah siang.”
            ”Ah, ia...Aku masih ngantuk, nih!!!.”
Lila adalah sahabatku bahkan lebih dari itu, dia sudah menjadi saudara bagiku. Dia ... gadis cantik berkulit putih, berambut pendek dan sedikit tomboy.
            ”sayang...Ayo bangun!cepat bangun dan mandi. Aku tunggu didepan.”
            ”Memangnya kita mau kemana?.”
            ”Sudahlah.”ia beranjak keluar meninggalkan aku dengan senyuman dibibirnya.
Dia selalu penuh dengan berjuta rahasia.
            Setelah dia pergi, ku mulai beranjak dari tempat tidur dan kutinggalkan rasa malas diranjang ku langkahkan kakiku ke kamar mandi.
            Dengan berpakaian biasanya aku menghampiri lila yang ada dimobil dan kami siap pergi.
            ”Li..... memangnya kita mau pergi kemana?!!”
            ”Inikan hari minggu, lagi pula kamu hari ini ulang tahun. Jadi kita akan pergi ke MALL untuk membelikanmu kado. Nanti aku yang bayar.”ucapnya tanpa memperdulikan aku.
            ”Kukira kita akan kemana? Karena tidak seperti biasanya kau membangunkan pagi-pagi. Lagi pula setiap hari minggu kita ke Mall, apa kau tak bosan??!!.”
            ”Hari ini khusu untuk kamu. Jadi, kamu nanti kamu pilih baju sesuka kamu dan aku yang bayar.”
            Selain lila penuh dengan rahasia, tapi kalau soal baju dia pasti bisa ditebak. Sekalipun aku yang memilih, ujung-ujungnya dia juga yang ngotot menyuruh aku memilih celana jeans dan kaos padahal aku paling tidak suka memakai celana. Jadi malam saja aku terpaksa memakai celana jeans karena konser itu.
            ”Li...kenapa kita tidak jalan-jalan kepantai atau tidak, kita pergi ke Dufan, kita sudah lama tidak kesana.”
            ”Sayang...!!! kamu tidak lupa, kan?! Ia tersenyum.



Akhir-akhir ini cuaca tidak menentu. Nanti kalau hujan kamu bisa kedinginan kalau kita ke Dufan, kamu pasti mau mencoba semua permainan.
Akibatnya energimu pasti banyak terkuras.
Jadi...kita ke Mall saja.
            Apa yang dikatakan lila selalu ada benarnya.
Akhir-akhir ini cuaca memang tidak menentu. Kadang hujan kadang panas. Mungkin ini akibat pemanasan Global, karena banyaknya pemakaian kendaraan bermotor, Akibatnya suhu udara menjadi naik dan cuaca tak menentu.
            Apa yang dikatakan lila membuatku sadar. Aku bukan sayang yang dulu. Sayang yang selalu ceria, sayang yang dulu kuat dan sayang yang bisa pergi kemanapun aku suka.
            Empat tahun yang lalu, aku tidak bisa lagi melakukan pekerjaan yang membuatku cukup lelah. Dokter memvonisku ada kanker bersemayan di otakku. Tak ayal vonis itu membuat lila setengah mati terkejut. Aku hanya tersenyum mendengar vonis itu. Toh, Ayah meninggal juga karena penyakit itu. Tak ada satupun keluargaku yang tahu. Aku sengaja menyuruh lila untuk tidak memberi tahu itu kepada ibu dan adikku, karena sudah lama hubunganku dengan ibu tidak harmonis.
            Sejak ayah meninggal, aku semakin kesepian meskipun demikian, masih ada kakak yang menemani aku. Ia menjadi pengganti ayah. Tapi ia juga pergi ikut ayah. Ibu selalu sibuk dengan pekerjaannya, ketika aku tumbuh menjadi gadis remaja, kami sering bertengkar. Dan akhirnya keputusan setelah lulus SMA, aku pergi ke tempat lila untuk melanjutkan kuliah, karena dia satu-satunya sahabat yang kupercaya.
            ”Sayang...!!!.”
            ”Iya...!jawabku setengah terkejut. Suara lila membuyarkan lamunanku.
            ”Kau tidak apa-apa!.”
            ”Tidak!.”
            ”Kita sudah sampai.”
            Hampir satu jam berputar-putar mengelilingi mall, namun lila masih tak mau diajak istirahat.
            ”Li, aku sudah lela!kita istirahat dulu ya!.”
            ”Sa...yang!ia sedikit terkejut saat melihatku yang tengah kelelahan dan pucat.”kalau begitu kita cari makan dulu.”
            ”Kenapa tidak dari tadi sich, li?.”
           


Dalam perjalanan menuju kafe di Mall kami bertemu kira dan teman-temannya.
            ”Sayang!”teriak Rama memanggilku. Ku lihat mereka berempat, kamipun bersama-sama kekafe untuk makan siang.
            ”Sayang... kenapa wajahmu begitu pucat?.”
            Tanya Rama.
            ”Ia kelelahan tahu?.”sahut lila.
            ”Aku nggak nanya kamu!”ucap Rama sewot.
            ”Lagi pula kamu siapa sich?Main serobot aja!.”
            ”Aku lila! Memang kenapa?.”Jawabnya judes.
Merekapun bertengkar adu mulut. Aku sampai pusing dibuatnya.
            ”Eh, sudah !kok kayak anak kecil sich?.”
Ucapku Materai.” kenalkan dia sahabatku, namanya lila.”mereka saling berjabat tangan.
            ”Tapi... dilihat-lihat sepertinya kalian cocok?.” Ucap Rian, menggoda mereka terdiam dengan wajah mereka memerah.
            ”Kita hari ini makan apa?.” ucap Rama.”Aku...!”
Kata tanya terhenti ketika ia meyerobot lagi.
            ”Bentar! Hari ini sayang yang pesan makanan duluan, dia kan ulang tahun.”mereka semua terkejut senang.
            ”Baiklah kalau begitu aku yang traktir sebagai kado buat sayang. Sayang pesan mie ayam saja, itukan yang selalu kamu makan pas kamu ulang tahun.”Ia tersenyum.
            ”Kakak!” aku terkejut mendengar ucapan Rian.
            Makanan datang dan kamipun menikmati makan siang itu.
            ”Apa itu sayang!.” Tanya Rian sambil mengarahkan pendangannya ke arah pil yang ada ditanganku.
            ”Ini... obat penambah vitamin.”Aku terpaksa bohong padanya. Tidak mungkin ku bilang kalau itu obat untuk memperlambat penyebaran kankerku.
            ”Oh.....begitu!.” ia terdiam. Aku tak tahu mengapa dia se olah mengingatkanku pada sesorang.
            Kulihat kira selalu terdiam, bibirnya seolah terkunci dan tak pernah bicara. Sesekali kuarahkan pandangan kearahnya.
            Setelah lama kami ngobrol, kami berpamitan. Rama memberikan alamat



rumah kira padaku, ia berharap aku dan lila bisa ikut kumpul kalau mereka sedang latihan.

            Rumah itu! Dari pertama kami memasuki gerbang rumah itu sepertinya aku begitu mengenalnya. Begitu banyak kenangan tersimpan dirumah itu. Bahkan saat kami memasukinya. Rasanya rumah itu membawaku kemasalalu, terutama diruang tengah.
            Suara piano dan canda tawa begitu menguasai aku. Suara tiong gadis kecil bermain piano bersama ayah dan kakaknya. Suara langkah lari mereka menghampiri ibunya, mereka keluarga yang harmonis dan penuh kebahagiaan. Semua itu terbayang kembali.
            Bahkan kenangan tragis pun ikut hadir dalam ingatanku. Saat laki-laki begitu marah mendengar suara permainan  kakak, mereka bertengkar dan kakak didorongya hingga tak sadarkan diri hingga akhirnya meninggal aku menjerit melihat itu.
            ”Kakak.”aku tidak sadarkan diri.
            Kulihat mereka disampingku saat ku mulai sadar.
            ”Sayang...kamu baikkan?”.ucap lila sambil memegang tanganku.
            ”Iya!”.ku anggukkan kepala.
            Mereka meninggalkan aku sendiri dikamar untuk istirahat.
            Sudah berapa lama aku tertidur?
            Kemana mereka semua? Mengapa disini begitu sepi? Ku gerakkan tubuhku meski masih agak lemah, kulangkahkan kakiku kemanapun ia menuntunku. Kulihat kira begitu pulas tertidur disofa ruang tengah.
            Ku dekati dia kupandang wajahnya ia begitu indah. Di balik sifatnya yang dingin itu ternyata ia begitu banyak masa lalu yang menyedihkan.
            ”Wajah kesepian!.”
            ”Ternyata kau bisa membaca itu? Ucap Rian mengagetkan aku.” ia memang kesepian, kau tahu...?.”
            ”Apa!.”
            ”Kira...!” Ia mulai bercerita.” Ia memang kesepian sejak kecil selalu sendiri meski hidupnya berkecukupan dan mungkin lebih dari cukup karena kaya raya, tapi dia tak pernah mendapat kasih sayang dari orang tuanya.”
            ”Orang tuanya selalu sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Tiap mereka pulang yang dilihatnya bukan kebahagiaan tapi penderitaan orang tuanya selalu bertengkar didepan kira tanpa memperdulikan perasaan kira. Di umur yang masih


kecil ia mendapatkan kenyataan yang menyakitkan. Di usia lima tahun orang tuanya bercerai. Ia semakin kesepian dan membenci orang tuanya.”!
            ”Di sekolah kira tak punya teman sama sekali yang didapat hanya hinaan karena orang tuanya bercerai. Teman-temannya menganggap ia tak punya orang tua lagi dan dikucilkan. Kira semakin membenci orang tuanya. Karena masih saudara, Ayah dan Ibu mengejak kira. Aku selalu melihat dia menyendiri dan tatapan matanya selalu memancarkan kebencian.”
            ”Kira tumbuh menjadi remaja yang dingin, setidaknya itu yang dikatakan temannya. Tapi di balik itu kira punya banyak sifat yang baik serta ketulusan.”
            ”Setelah lulus SMA, ia ikut kami dalam bermusik kira berkenalan cewek itu dan merekapun jadian sejak saat itu sifat dinginnya tidak pernah kulihat lagi.
Namun tiga tahun kemudian tanpa sebab yang pasti cewek itu memutuskan kira. Kira yang dulu akhirnya kembali.”
            ”Sayang...!.”Rian menghela nafasnya.
            ”Apa!.”
            ”Itu sebabnya ia membenci novelmu.
Karena dia tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari ayahnya.”
            ”Begitu ya!.” Aku tersenyum.
            Kira mulai terbangun, perlahan ia membuka matanya.
            “Kamu...!”ucapnya sambil beranjak dari sisiku. Akupun terkejut.
            ”Cuci mukamu ! Sekalian mandi !. ucap Rian kirapun beranjak dan meninggalka kami.
            Aku berjalan kearah jendela dan kupandang kearah luar. Tiba-tiba suara permainan piano Rian mengejutkanku.
Tidak ada yang bisa memainkan nada itu kecuali dari keluarga Ayah.
            “Kamu...? Sebenarnya siapa? Lagu itu?.”
            ”Lagu dari keluarga Ayahmu, Riano?.”
            “Kamu siapa?.”
            “Ken !” Aku terkejut dengan ucapannya.
            ”Maksudku, aku sahabat ken Riano.
              Kakakmu!.”Aku hanya bisa tertegun mendengar semua itu.
            ”Sayang...!.”
            ”Apa...?”
            ”Apa kau sakit ? sudah berapa lama?”
            ”Kamu...?”
           

”Ken...! Dia sahabatku dari SMA. Meski kami tidak satu sekolahan, tapi kami sahabat baik. Bagiku ken adalah inspirasi terbesarku dalam bermain piano. Aku begitu mengagumi dia. Sayang dia meninggal dalam usia muda.”
            Rian mendekati aku dan dia merangkul tubuhku. Dengan jari-jarinya itu dia menghapus air mataku.
            ”Sudahlah sayang, jangan menangis!.”
            ”Bagaimana Mas tahu kalau aku sakit?.”
            ”Dulu...ken adalah cowok yang ceria, kuat dan penuh semangat. Ken selalu memberiku semangat. Tapi... semua tak selalu indah. Di usia yang masih mudah, tepatnya sehari setelah ulang tahun di usia 17 ia divonis dokter. Dokter bilang ken mengidap kanker otak. Aku begitu terkejut, mendengar itu. Sebelum ken meninggal, ia membisikkan sesuatu kepadaku. Ken mengajari aku cara bermain piano, termasuk lagu itu.
            ”Tapi waktu harus memisahkan kami, setelah lulus SMA, ayahku mengirimku ke tempat lain untuk kuliah. Semua berlalu begitu cepat dan waktu menuntunku kembali kesini. Setelah sampai disini dan ku mencari ken untuk mengatakan padanya kalau aku sudah bisa bermain piano dengan benar, tapi yang kudapati kenyataan yang menyakitkan. Ia pergi dan takkan kembali, ku cari kamu kemana-mana sayang tapi kamu tak bisa kutemukan.”Rian menangis.
            ”Tapi kenapa ? kenapa mas mencariku?.”
            ”Karena... ken ingin agar aku bisa menjagamu.”
            ”Apa?.” Aku terkejut.
            ”Aku terlambat untuk menjagamu.” Rian memelukku. Air matanya menandakan penyesalan.” Aku terkejut saat kau meminum pil itu, karena pil itu sama dengan pil yang sama dengan pil yang diminum ken.”
            ”Tak ada yang terlambat mas!”
Ia terkejut lalu tersenyum.
            Ku kira hanya hidupku yang penuh.”
Air mata dan bertemankan sepi, ternyata masih banyak orang yang kehidupannya seperti aku. Selalu terbayangi akn masa lalu yang menyakitkan.
            Sejak hari itu aku merasa kakakku hidup kembali didiri Rian. Ia menjagaku seperti kakak kini aku dapat merasakan kasih sayang kakak lagi.
            Sore ini langit mendung tiba-tiba perasaanku jadi kurang enak.
Ku langkahkan kaki hingga menuntunku kearah kira, suara hujan membuatku semakin takut.


            ”Kira...!.” ku lihat dia sedang meminum alkohol.” kamu...mabuk?.”ku coba meraih alkohol itu dan menjauhkannya dari kira. Ia terus berusaha mengambilnya kembali. Kami saling berebut hingga botol alkohol itu jatuh dan pecah.
            ”Kamu...!” nadanya membentak.
            ”Tidak, sepantasnya kamu seperti itu, kan!.”
            ”Kamu nggak usah ikut campur kamu nggak tahu apa-apa!.”
            ”Aku tahu .... ”
            ”Tahu apa ? kamu nggak tahu apa yang kurasakan ..”
            ”Aku tahu ... aku tahu rasanya kehilangan. Aku tahu rasanya ditinggal oleh orang yang kita sayang. Dan aku tahu rasanya hidup sendirian dan kesepian. Aku tahu semua itu.”kira terdiam.
            ”Setidaknya kamu masih bisa melihat mereka.sedamgkan aku ... sampai kapanpun tak kan bisa melihat mereka.”
            Hujan semakin deras. Tiba-tiba petir membuatku kaget dan merasa takut. Karena aku paling tidak bisa mendengar suara petir. Ku rasakan kepalaku pusing, pandanganku kabur dan aku pingsan lagi. Saat aku sadar mereka semua ada di sampingku. Marshel yang juga seorang dokter menyarankan aku agar mau menjalani operasi. Marshel bilang kanker itu bisa semakin parah kalau tidak dioperasi. Aku hanya bisa tersenyum mendengar semua itu.
            Kira semakin berubah. Aku senang melihat dia ceria kembali dan melupakan kesedihannya. Dia tidak lagi minum minuman keras. Dia juga semakin menjaga kesehatannya. Dan kami semakin akrab.
            Hari-hariku ku habiskan di rumah itu. Kedamaian hatiku kembali kutemukan kebahagiaan dan rahasia juga terungkap di rumah itu.
            Setelah pulang dari sekolahan, aku menuju ke rumah Kira, karena setiap sore kami semua berkumpul di sana.
            ”Sayang .... kamu sedang apa? Tanya kira.
            ”Ini .... surat dari anak-anak. Mereka minta aku membaca dan membalasnya!”
            ”Surat apa? Kok pake’ dibalas segala/.”
            ”Nggak tahu? Lihat ini?.” kami pun membaca surat dari murid-muridku.
            ”Surat cinta ya ...! pantas aja! Gurunya saja cantik, siapa yang nggak tertarik!.” ia tersenyum.
            ”Bisa aja kamu!.” kami tertawa bersama.
            ”kalau seandainya aku yang nembak kamu, kamu mau menerima aku nggak?.”
           

”Apa? ”aku terkejut mendengar kata-kata kira.” maksudmu?.”
            ”Mau nggak kamu, jadi pacarku?”
            ”Ha..!”jadi pacarmu?” aku tak dapat berkata apa-apa.
            ”Ya, Udah! Mulai sore ini kita jadian. Kuanggukkan kepala dan sejak itu kami pacaran.
            Hidupku semakin bahagia, apalagi setelah kutahu lila dan Rama juga pacaran. Kebahagiaanku semakin mendekapku tak pernah kutemukan tetes air mata lagi. Semua begitu sempurna dipandanganku, meski kutahu tak ada yang sempurna di dunia ini.
            Didunia semua tercipta bersampingan dan berkebalikan, ada hitam ada putih, ada siang ada malam dan ada bahagia pasti ada derita dan derita itu kembali menyapa saat dhia, seakan kira hadir dalam kehidupan kira untuk kedua hasil.
            Siang itu setelah pulang dari sekolahan, seorang cewek menghampiriku didepan sekolah, ia mengajakku makan siang dan percakapan itu di mulai dhia tidak suka kalau aku dekat dengan kira. Dhia menginginkan aku agar menjahui kira. Dhia bilang ia yang lebih pantas untuk kira, lalu kenapa dhia bisa memutuskan hubungan tanpa sebab yang pasti.
            Aku tidak memberitahukan kepada kira tentang pertemuanku dengan dhia. Entah kenapa ada rasa takut akan amarah, aku takut dia marah. Meski Dhia membuatku semakin tidak tenang. Dia sering menelfon aku dan sms yang kurang enak untukku.
            ”SMS dari siapa sich, serius banget!.”
Kira mengagetkan aku.
            ”Bu...kan! Bukan dari siapa-siapa kok!.”
Aku sedikit gugup.
            ”Sayang!.”
            ”Ha...apa?”
            ”Kata marshel, besok kamu harus mulai menjalani perawatan.” ia terdiam.
            ”Kamu mau kan?” ia tersenyum.
Aku hanya bisa terdiam mendengarkan itu.
            ”Jangan, buat dia kecewa?.”
            ”Maksudmu apa?.”
            ”Penyakit itu... pernah merenggut nyawa orang yang disayanginya. Karena tak pernah mau menjalani perawatan.”
            ”Siapa?.”
           

”Pacar pertamanya, waktu SMA. Dia cewek yang sangat manis mereka adalah pasangan yang sangat serasi, mereka selalu bersama kemanapun kami pergi.
Tapi..... !”jadiberhenti bercinta”
            ”Tapi... apa ?.”
            ”Tapi ... kebahagiannya teruji ceweknya di vonis oleh dokter, cewek itu mengidap kanker darah , memang ia bisa sembuh meski marshel meminta cewek itu tetap tak mau menjalani pengobatan.”
            ”Semakin hari kondisinya semakin memburuk, hingga akhirnya ia masuk UGD, cewek itu tak sadarkan diri beberapa hari. Dan dokter bilang ia tak terselamatkan.”
            ”Maksudmu.....meninggal!.”aku terkejut.
            ”Iya, cewek itu meninggal sejak saat itu, ia pun berusaha untuk meraih mimpi menjadi seorang dokter. Agar ia dapat membantu menyelamatkan orang-orang yang mengidap kanker. Hingga kini ia bisa menjadi seorang ahli kanker.”
            ”Itu sebabnya ia tidak bisa tersenyum!”
Ku berikan sedikit senyum pada kira.
            Kamipun saling tertawa membahas marshel.
            “Besok kita ke dufon, yuk!.”Ajakku.
            ”Dufon...!.” Diam terdiam sejenak.
            ”Kok diam, sich? kira...?ucapku.
            ”Iya, sayang! Ia tersenyum dan kami tertawa bersama.

            Keesokkannya kami semua berangkat ke Dufon bersama-sama, termasuk istri dan anak-anak Rian dan Marshel, kami semua begitu menikmati hari ini terlebih sudah lama tidak kesini.
            ”Uh, capek benget !.”ucapku sambil menyekai air mata mukaku.”yang lain mana?.”
            ”Tuh, mereka! Ucap kira sambil menunjuk kearah mereka.
            ”Kira.....?.”
            ”Apa .....?.”
            ”Komedi putar!
            ”Ha...memangnya kenapa dengan komedi putar? Jangan bilang kamu mau kesana?.”
            ”Kira... bolehkan?please? udah lama aku nggak naik komedi putar! Ya... kira! Ku berikan sedikit senyuman.
           

”Ayo ! ia menarik tanganku.
            Komedi putar! Aku jadi teringat kakak, tiap kali liburan kakak selalu mengajakku ke Dufon hanya untuk naik komedi putar. Ia selalu tersenyum melihat aku yang begitu gembira naik komedi putar. Bahkan senyuman itu sampai saat ini tak mampu ku lupakan.
            Setelah kami dari tempat komedi putar, kami menghampiri Ryan dan yang lainnya. Ku gendong anak Ryan kami saling bercanda. Hari ini benar-benar indah.
            Ku rebahkan sejenak tubuhku diatas dudukan yang ada di Dufon. Cuaca panas itu menyuruhku untuk membeli minuman.
            ”Panas sekali hari ini ?.”
            ”Kamu mau minum sayang!.”
            ”Boleh?.”kuanggukkan kepala.”
            Sebentar sayang ku pergi dulu cari minum.”
            Kira pun bergegas meninggalkan aku.
            Tak beberapa lama, berdiri seorang didepanku.
            ”Kira...!.” kuarahkan pandanganku kearah dia. Aku begitu terkejut melihatnya.”Dhi...a!.”
            ”Sudah ku bilang, jahui kira.” ia menamparku.
            ”Bukankah kalian sudah putus, bahkan kau yang memutuskan hubungan kalian.”
            ”Kata siapa? Itu cuma gosip yang hanya untuk mendongkrak popularitas.”
            ”Sudahlah Dhia, asal kau tahu untuk apa dia mabuk-mabukan hampir setiap hari, tak pernah tersenyum dan masih banyak lagi hal negatif yang dia lakukan setelah kalian putus, apa cuma untuk mendongkrak popularitas? Kurasa tidak?.”
            ”Kamu.....!.” Nadanya meninggi.
            ”Dhia, aku pacar kira jadi kamu nggak berhak bicara seperti itu?.”
Ia mencoba memukul, tapi tiba-tiba kira datang dan menghalangnya. Dhia pun pergi tanpa mengucapkan kata-kata.
            ”Sayang... kamu nggak di apa-apain dhia kan.”ia begitu khawatir.
            ”Nggak kok!.”
            ”Ini minum dulu.” ia menyodorkan minuman kaleng itu ke aku.
            ”Terima kasih, kira!.” ku tersenyum dan ia membalasnya.
Tiba-tiba kami terkejut dengan suara teriakkan lila. Entah apa yang terjadi dengannya aku dan kira cepat-cepat menghampiri lila dan yang lainnya.
            ”Lyla!” ku lihat dia dengan wajah yang ketakutan.


 Aku tak pernah melihat dia seperti itu sejak hari itu wajahnya begitu pucat. Ia tak bergerak sedikitpun dan nafasnya tak beraturan. ”Rama lyla kenapa?.”
            ”Aku nggak tahu? Dia udah seperti ini setelah melihat cowok itu?.” Rama menunjuk kearah seorang cowok yang berdiri agak jauh dari kami.
            Ku dekati dia wajah itu kenapa kembali lagi wajah yang pernah menguku indah dan duka dihidup sahabatku.
            ”Alan...!.”
            ”Sayang!.” percakapan kamipun dimulai. Dia memberitahukan apa yang ingin diselesaikan dengan lyla. Ia hanya minta maaf dan pergi dari lyla.
            Kami membiarkan lyla istirahat dan kami duduk di ruang tengah.
            “Sayang ...! siapa cowok itu? Tanya Rama.
            “Tidak apa-apa! Bicaralah!.”
            “Dia Alan! Pacar pertama dan mantan lyla. Dulunya dia begitu baik dan selalu menyanyangi lyla. Mereka adalah pasangan paling sempurna, bahkan membuatku iri.”
            ”Tapi semua berubah saat alan kehilangan akalnya, meski tidak gila tapi emosinya sering berubah dengan cepat kadang emosinya sering berubah dengan cepat kadang kadang baik tapi dia bisa jadi begitu kejam hingga alan membuat lyla terkejut dan ketakutan, alan sering membuat lyla tersiksa.”
            ”Hingga akhirnya alan masuk Rumah Sakit Jiwa, akalnya benar-benar terganggu.
            ”Hari-harinya dihabiskan dirumah sakit itu dan lyla perlahan dapat melupakan kenangannya bersama alan. Dan ... inilah lyla yang sekarang.”
            ”Lalu ... kenapa alan bisa disini?.”
            ”Setelah dia benar-benar sembuh, alan mencari lyla untuk meminta maaf karena dia pernah menyakiti dia.”
            ”Begitu ya!.”
            Beberapa hari kemudian, kami mempertemukan mereka berdua dan akhirnya masalah mereka selesai dan berakhir dengan saling memaafkan.
            ”Lyla... kamu hebat ya!.”
            Keadaan lyla semakin baik dan alan menjauh dari hidupnya, kini yang ada cuma Rama.”
            ”Hai ly?.”
            ”Mas marshel!. Ada apa?.”
            ”Nggak, kok! Mereka kemana? Kok sepi?”
           

”Masih di taman, mas?.”
            ”By the way! Kamu sama Rama sudah berapa lama?.”
            “Hmm … hamper setahun mas! Kenapa?.”
            ”Lama juga, ya!.”
            ”Lama?” ucap lyla tidak mengerti.
            ”Iya! Dulu kan dia terkenal sebagai playboy. Dalam sebulan, terkadang dua kali pacaran, sedangkan setelah bertemu kamu dan pacaran sama kamu sifatnya mulai berubah...”!
            ”berubah! Maksudnya?.”
            ”ia mulai bisa mengerti arti sebuah cinta dan tentunya kesetiaan. Bahkan untuk melihat cewek lain saja, dia sudah nggak kayak dulu.”
            “Ly...!.”
            “Ha... apa mas?.”
            “Hebat? Maksudnya?.”
            “kamu hebat bisa merubah sifat Rama, bisa merubah sifat seorang palyboy!.”
            ”Biasa aja, mas!” kami saling tertawa.
            ”Mas, Aku boleh nanya, nggak?.”
            ”Apa Ly?”
            ”Kenapa Rama bisa jadi seperti itu?”
            “Maksudnya?”
            “Playboy!
            “Dia... marshel mulai bercerita.” Dulu Rama anaknya baik, ia begitu polos dan cupu, selalu dijahui cewek. Hingga perkenalannya dengan cewek itu. Dia bisa diterima oleh cewek itu. Rama mulai berhubungan dengan cewek itu mereka pacaran. Rama begitu senang karena ada cewek yang mau menerima kehadirannya. Tapi.....”.
            ”Tapi apa, mas!.”
            ”Tapi... kekecewaan menghampiri dia, ternyata cewek itu hanya mempermainkannya. Dia begitu marah, kebenciannya semakin hari semakin mendalam. Hinga akhirnya ia mengubur hidupnya yang dulu dan jadilah dia sekarang. Cowok keren dan banyak rasa sakit dan kebenciannya itu pada cewek-cewek yang menghampiri dia.”
            ”Rama cupu?.”
            ”Ly...!.”
           


”Mas, lucu mungkin Rama terlihat cupu!.” Lyla mulai membayangkan Rama di masa SMA. Ia tersenyum sendiri.
            “Ly...!.” kamu nggak papa kan?.”
            ”Mas!.” lyla terkejut.” Nggak apa-apa kok mas!.”
            ”Ly...!.”Marshel tersenyum.
            Angin ini seolah memanggilku untuk kembali ke masa lalu. Dimana semua pernah bersamaku menjalani hidup. Dingin angin ini seolah menyuruhku menemui mereka serpihan masa lalu. Dan hembusan anginpun membawaku kepada mereka, keluargaku.
            Ku buka masa lalu dengan membuka pintu itu. Pintu rumah sekian lama ku tinggalkan. Dari balik pintu dua orang menyambutku dengan senyuman dan dekapan. Pelukan kerinduan dari sesosok perempuan separuh baya, namun masih terlihat cantik dengan dandanan yang masih seperti dulu. Dan satu lagi pelukan yang terlontar dari anak laki-laki yang beranjak dewasa itu mendarat lembut di tubuhku.
            Anak laki-laki itu semakin dewasa parasnya membuatku sedikit membenci akan kehadirannya. Aku tidak tahu apakah aku harus membecinya sedangkan dia tak pernah tahu apa-apa dan tak ada salah sedikitpun didirinya ataukah aku harus menyayanginya sedangkan didirinya mengalir darah laki-laki yang aku Benci.
Perempuan itu, yang tlah melahirkan dan membesarkan aku dengan kasih sayang. Entah, masihkah bisa aku memanggilnya ”ibu” sedangkan di hati kecilku masih ada sedikit rasa kecewa atas pilihannya.
”sayang.........!.” ucap peremuan itu dengan kecupan lembut yang lama tak kurasakan lagi mendarat lembut di keningku.
”I....bu!.” Dengan sedikit terbaku kuucapkan kat yang tlah lama tak kusebut.
”kakak, ayo masuk ke dalam.” malaikat kecil menggandeng tanganku masuk ke dalam rumah. Jhonatan, malaikat kecil, itulah sebutan dariku untuknya.
Makan siang kami, memulai kisahku disini dan merajut cerita yang pernah terhenti. Meski mereka keluargaku dan ikatan juga ada diantara kami, namun aku merasa asing di sini. Entah apa penyebabnya, aku juga tak begitu mengerti. Baik teka-teki alam yang sulit di pecahkan ku coba mencari jawabnya. Kepergian orang yang kusayang tlah memutuskan rasaku.
Liburan panjang ini kuhabiskan di rumah ibu. Sudah lama kutinggalkan mereka hanya untuk menghapus rasa sakit ini.
”kak, kalungmu bagus, ya!.” ia menunjuk kalung yang melingkar dileherku.
”Kalung ini! Peninggalan ayah.” ku sentuh liontinnya.


”kak, kalau aku sudah seusia kakak, apa aku bisa memiliki dan memakainya?” Tanyanya dengan polos.
”kalung ini hanya boleh diberikan kepada orang lain kalau pemakainya sudah tidak ada.”
”Oh begitu ya! Tapi... aku tidak harus menunggu kakak meninggal dulu kan?.” Ia tersenyum.
”Jhon! Tidak sopan bicara seperti itu!” Ibu sedikit marah dengan ucapan jhon.” kakakmu masih hidup.
”Aku kan cuma bercanda, bu!.” Ia cemberut.
”Sudahlah! Tidak apa-apa, bu! dia kan Cuma bercanda.”
Jhon berlalu dengan wajah sedih.
Ku dekati piano yang berada tepat diruang tengah, ku sentuh piano itu dengan kenangan. Tak pernah berubah, ukiran nama kakak ”KEN RIANO” tak pudar. Seperti ayah yang mendapatkan piano karena prestasi dan kemahirannya bermain piano diusia muda, kakak mewarisi bakat ayah. Ia mendapatkan piano itu ketika duduk dikelas satu SMA.
Setelah kepergianku, piano itu tak pernah tersentuh sedikitpun. Seperti tertarik ke masa lalu, ada bisikan yang menyuruhku untuk memainkan piano itu.
Aku duduk dan ku sentuh piano itu dengan jari-jari ini. Ku mainkannya sambil melantunkan sebuah lagu yang pernah nge-trend di tahun 2004 an yang dibawakan oleh ADA BAND.

YANG TERBAIK BAGIMU
Teringat masa kecilku kau peluk dan kau manja
Indahnya saat itu buatku melambung
Disisimu teringiang hangat nafas segar harum tubuhmu
Kau tuturkan segala mimpi-mimpi serta harapanmu

Kau ingin ku menjadi yang terbaik bagimu
Patuhi perintamu jauhi godaan
Yang mungkin ku lakukan dalam waktu ku beranjak dewasa
Jangan sampai membuatku terbelenggu jatuh dan terinjak

Tuhan tolonglah sampaikan sejuta sayangku untuknya
Ku terus berjanji takkan hianati perintahnya
Ayah dengarlah betapa sesunggunya ku mencintaimu
Kan ku bukti ku mampu penuhi maumu

Andaikan detik itu bergulir kembali
Ku rindukan suasana basuh jiwaku
Membahagiakan aku yang haus akan kasih dan sayangmu
Tuk wujudkan segala sesuatu yang pernah terlewati

                                                                                    By: ADA BAND.



Butiran-butiran mutiara putih itu mengalir dalam setiap kata yang terucap dan setiap nada yang termainkan. Memberikan kedamaian didalam setiap kenangan yang hadirkan rindu. Aku seperti tersihir oleh lagu itu, tak menghiraukan apa yang ada disekelilingku, terus melayang dalam bayangan kenangan atas mereka yang kusayangi.
Tiba-tiba suara tepukan seolah memukul kesadaranku. Dan baru kusadari wajahku sudah basah dengan tetesan air mata. Jhon menepuk kedua tangannya sembari mendekat dan duduk disampingku.
”kakak! Hebat, ya!.” ucapnya dengan senyu yang memnuatku terpaku.
”Jhon!.” Hanya kata itu yang mampu ku ucap.
            ”Ibu sering bercerita kalau ayah, kak ken dan kakat sudah mahir bermain piano dalam usia yang masih muda. Tapi.....
”Tapi apa?.”Aku terkejut atas ucapannya.
”Tapi mengapa aku sedikitpun nggak suka bahkan tidak pernah bisa memainkan piano?
Dan kenapa aku lebih suka dengan hal yang berhubungan dengan kedokteran?.” Tanyanya dengan wajah sedih.
”Mungkin kamu lebih mirip ibu jhon!.”
Ku coba menghiburnya. Ia terdiam tanpa berkata sedikitpun, suasana begitu hening. Benar saja jhon tidak pernah menyukai permainan piano, karena dalam dirinya tidak sedikitpun mengalir darah ayah melainkan darah lelaki itu, dokter terkenal di negara ini.
”Iya, kak! Mungkin aku lebih mirip ibu,” ia tersenyum.
Hari demi hari harus ku habiskan dengan anak kesayangan ibu, dan juga putra kesayangan dari lelaki itu. Tak pernah ku tahu apa yang kan terjadi esok. Apakah keberadaanku di sini akan mengakhiri perjalanan setiap langkahku?


Apakah kesedian dibatinku akan berakhir di rumah ini? Dan apakah..... masih banyak lagi pertanyaan yang tak mampu ku jawab.
Semua yang menjadi saksi kenangan tak berubah. Ia sama seperti dulu saat belum kutinggalkan. Wajah ayah dan kakak begitu manis dalam foto-foto di dinding kamarku. Teman-teman ayah selalu memuji bakat serta anugerah yang dimiliki kakak, ia hanya berkata ”ini masih dalam tahap belajar, karena ayah masih lebih hebat” dan mereka tertawa bersama. Dan itu kadang membuatku iri.
Kakak selalu tahu apa yang membuatku ceria lagi saat sebuah wajah iri dan ngambek menghampiriku. Ia akan menggondongku dan mendudukkanku di kursi di samping piano, dari ia akan memulai mengajariku memainkan piano. Saat itu ayah hanya bisa tersenyum.
Tanpa terasa waktu begitu berlalu dengan cepat. 4 tahun sudah aku meninggalkan Jhon dari ibu serta rumah ini. Jhon yang dulunya masih remaja kecil kini sudah beranjak dewasa. Tentu, mungkin dia sudah memiliki kekasih.
”kak!.” aku terkejut atas kedatangannya sejak kapan ia di sini.
”Jhon!.” ku arahkan pandanganku kesampingnya Gadis cantik berdiri di samping adikku,” siapa dia Jhon?.” Tanyaku tak sabar ingin tahu.
”ini Nayla, kak!.”
Aku tersenyum melihat malaikat kecilku benar-benar tlah dewasa.” Dia .... pacarmu?.”
”I ...ya, kak! Sedikit terbata namun begitu jelas.
Jhon meninggalkanku dengan Nayla.
Kami saling ngobrol dan bertanya satu sama lain.
”oh ... ya! Siapa nama kamu tadi?
”Nayla ... Nayla Cahya Rianto.” ia tersenyum.
Aku terperanjat mendengar dia menyebut nama Rianto. Berjuta tanya melayang di fikiranku. Apakah dia putri dari Rianto. Lelaki yang kubenci sekaligus ayah Jhon? Apakah dia anak dari Rianto yang lainnya. Aku berharap dia bukan putri dari ayah Jhon. Meski kenyataan berkata lain, saat kutanya pekerjaan ayahnya dan jawabnya meluluh lantakkan harapku menghancurkan setiap kata yang terucap dalam hati.
“Apa pekerjaan ayahmu, Na?.”
“Dokter kak, Ahli kanker!.”
Aku tak tahu apa yang harus aku katakan. Haruskah aku menyuruh Jhon menjauhi gadis itu.


Dan membuang jauh-jauh mimpinya untuk bersama dengan gadi itu. Ataukah aku biarkan dia tetap bertahan sedangkan mereka itu saudara.
Aku semakin bingung bila melihat itu. Semua rasa bercampur hingga membekukan darahku, hingga tak mampu menjalani hari-hari dengan kemesraan mereka.
Sore yang membuatku mengungkap segala rahasia keluarga Riano kepada Jhon, meski ibu tak sedikit tidak setuju, namun akhirnya ku beritahukan semuanya.
”Jhon ...! kakak minta kamu jahui Nayla!.”
”kak, tapi mengapa? Aki sayang dia, kakak juga bilang kami serasi.” ia mebela.
” jauhi dia?.”
”Tidak, kak ...! kakak kenapa? Ada apa dengan kakak?.” ia tetap bersikukuh hingga membuat kami bertengkar.
”Dia ... Saudaramu!.” Aku lepas kendali hingga kata yang selalu ku rantai erat di hatiku lepas terungkap, kami terdiam.
”Apa! Kakak pasti bercanda. Ia tersenyum meski senyum itu palsu.
”kau tahu nama belakangmu siapa?.”
”maksud kakak! Nama itu R yang berarti Riano, ayah kita.” ucapnya bingung.
”kamu salah! R itu bukan Riano melainkan Rianto. Dan cewek itu juga Rianto, nama belakangnya.
”kakak bohong! Ibu ...!.” Jhon  menatap ibi. Namun ibu tak mampu berucap sedikitpun. Hanya air mata yang membenarkan ucapanku.
Ibu pun meninggalkan kami. Jhon tertunduk l;esu mencoba merenungi arti kenyataan ini. Sore itu juga semua rahasia Riano ku ceritakan pada adikku itu, selain itu di tempat lain cerita tentang Riano juga di reapi dan di nikmati oleh sahabat-sahabatku.

Riano adalah lelaki yang mempunyai bakat dalam banyak hal, terutama dalam bermain piano. Dia mampu meraih banyak penghargaan dalam usia terbilang muda. Banyak yang bilang, kehidupannya adalah anugerah yang melahirkan kebahagiaan baginya.
Ayah menikah dengan dokter muda yang cantik, dia tak lain adalah ibu kita. Ayah begitu bahagia, apa lagi saat kelahiran kakak dan aku. Kami keluarga yang begitu Harmonis.


Sebagai seorang pianis, semua keturunannya mewarisi bakat yang ayah miliki. Kakak sebagai putra pertama sekaligus anak laki-laki tunggal dari keluarga Riano, begitu mirip dengan Ayah. Wajahnya, sikap dan sifatnya, caranya bermain piano dan masih banyak lagi terutama mendapatkan penghargaan atas permainan pianonya di usia muda.
Tapi ..... di dunia ini tak ada yang sempurna. Ayah meninggal karena kanker di otaknya. Semua orang mengira begitu, tapi tidak untuk aku. Di ruang yang penuh peralatan medis, tubuh yang selalu terlihat gagah itu tidak bergerak sedikitpun. Dari balik kaca jendela ku lihat kejadian yang hingga sampai saat ini tak bisa terkubur bersama kenangan. Dokter itu ... membunuh ayah lewat obatnya.
Air mata kami mengiringi kepergian ayah. Ku tatap dokter itu dengan kebencian. Tak ada yang percaya dengan ucapan anak kecil, kecuali kakak. Ia mendekapku dan sejak keprgian ayah, kakak juga berperan sebagai penggantinya.
Semua tak berjalan sesuai harapan. Dokter itu adalah teman ibu. Mereka pun menikah dan dirumah Riano terlahir bayi laki-laki mungil. Dia... kamu, aku dan kakak semakin tersisih. Apalagi setelah kepindahan kita kesini. Tingkah kecilmu membuatku kehilangan kakak. Tentu kau masih ingat saat aku dan kakak bermain piano. Kau datang dan mengusik ketenangan kami. Aku tak suka dan kakak mencoba menenangkanmu agar tidak mengganggu kami, tapi kamu memukul kakak dengan mainanmu.
Dengan sisa kesabaran, kakak mencoba menghalaumu. Hingga tangan kakak menyentuhmu dan kau terjatuh. Kau menangis dan semakin menjerit. Rasa sakitmu yang tak seberapa harus ditukar dengan nyawa kakak. Rinto... Dokter itu datang dan memukul kakak. Dokter itu tidak terima bila anaknya didorong hingga jatuh pertengkaran tak bisa dihindari, kakak didorong hingga jatuh. Kakak tak bis abertahan bukan hanya kanker diotaknya tetapi juga karena benturan yang amat parah dikepalanya. Ia tak terselamatkan, ia menyusul ayah.
Keberadaan Rianto semakin membuatku menatapnya dengan kebencian. Ku kenang mereka berdua lewat piano, ku mainkan lagu dari keluarga riano. Tak lama setelah itu, ibu memilih bercerai dari rianto dan kau dimenangkan ibu. Dan ibu memutuskan membawa kita kesini meninggalkan semua kenangan yang begitu berarti.
Ku akhiri ceritaku, jhon hanya terdiam tak bergeming.
”Itu sebabnya, kau tak pernah tertarik pada piano dan lebih memilih ilmu kedokteran.” ku layangkan pandanganku ke wajah jhon.


”Apa!.”
” karena kau bukan keturunan Riano, melainkan anak dari Rianto.”
”kakak!.”
”Dan karena kau putra Rianto, aku sedikit membencimu.”
”Sudah, kak! Hentikan...!.”Ia menyuruhku untuk tidak meneruskannya.
”Tapi...itu memang kenyataannya. Seberapa lama kami menyimpan rahasia itu, cpat atau lamabat kau juga pasti tahu. Kami saling berdiam diri.

Setelah pertengkaran itu, aku dan jhon saling berdiam. Kenyataan memang tak pernah selalu indah. Seberkas kisah lalu itu seolah menjadi rahasia keluarga kami.
Hari ini hari minggu, aku mencoba melupakan pertengkaran kami dengan jalan-jalan. Kulihat seorang cowok seusia kira sedang menuju gereja. Entah kenapa aku menjadi teringat dia. Setiap hari minggu, biasanya aku mengantarnya kegereja. Meski agak berat tapi bagaimana lagi, dia memang tak sekeyakinan dengan kami. Wajah kira begitu manis diingatanku. Kenapa aku jadi memikirkan dia? Apakah ini yang dinamakan Rindu?.
Hujan... ! Biasanya setiap kali hujan, kira selalu ada disampingku, karena dia tahu kalau hujan turun, pasti aku akan berteriak ketika mendengar petir. Ku arahkan mobilku menuju Rumah. Setelah melewati pintu gerbang, mataku terbelalak melihat sebuah mobil terparkir didepan rumah. Mobil itu... Apa benar! Cepat-cepat aku masuk rumah kubuka pintu itu, kulangkahkan kakiku ke ruang tengah, kesejukan menyapaku meraka disini.
Ibu dan sahabat-sahabatku bercanda tawa bersama sepasang mata itu melirikku dan tersenyum.
”Sayang!.” ucap ibu sambil mengisyaratkan agar aku ikut berkumpul bersama.
”Sayang! Lihat Ryan, dia bilang sudah punya putra dia juga pandai bermain piano.” Ibu terdiam.” Seandainya ken masih ada pasti dia seperti Ryan dan tentunya aku sudah dipanggil nenek.” Ia tertawa terbahak meski hatinya menangis karena putra pertamanya sudah lama tiada.
”Ibu...!.”Aku terdiam.
”Tante, Bukankah aku juga anakmu. Ryan mencoba menghibur.” Jadi anakku juga cucumu. Bukankah masih ada aku, tante nggak usah seperti merasa ada yang hilang. Ia tersenyum.


”Iya tan, kalau aku sama sayang menikah dan punya anak, tante pasti jadi nenek. Ucap kira sambil melirikku.
”benar tan, Lyla sama aku juga begitu.”Rama ikut berkomentar.
”Apa! Memang kita akan menikah.” Lyla menggoda.

“Ly…!”  Rama memohon.
Lama terdiam menggoda iapun berucap “Iya sayang !” semua tertawa lepas. Marshel yang biasanya terdiam kini tertawa tanpa henti.
            Mereka begitu pulas dalam tidurnya di kamar tamu. Ku tatap malam yang indah ini dengan sinar-sinar bintang dan senyuman sang rembulan yang penuh. Dekapan hangat merangkul tubuhku, semakin lama semakin erat.
            “Aku sayang kamu !”  Kira tetap tidak melepaskan pelukannya itu.
            “Aku tahu !” Aku terdiam sejenak. “Apa kita akan menikah ?” tanyaku lirih dengan pandangan yang tidak berubah.
“Tentu, sayang ! Kenapa ? Apa kau ragu dengan ketulusanku ?”
“Tidak, Kira !  Hanya saja....!” ucapanku berhenti.
“Hanya saja apa ?“ Kira semakin penasaran.
“Hanya saja....mereka semua tahu, kita berbeda keyakinan. Kita tidak bi....!” 
Kira memotong ucapanku.
“Aku tahu sayang. Aku juga perlahan mencoba memahami keyakinan kamu dan mereka. Karena aku ingin kita bisa bersama, sebelum atau setelah kita mati.” Kira meregangkan pelukannya.
“Kira !  kalau seandainya aku pulang lebih dulu. Apa kau tetap mengubah keyakinanmu?”
“Sayang ! kau bicara apa ?”  ia mulai melepas dekapannya.
“Kalau aku pulang, kuharap kamu mau menjengukku di rumah terakhir. Memberi kesejukan di rumah itu dengan doa-doa suci. 
 “Sayang ! ia menetapku.” Kamu bicara apa ?  kenapa kau berfikir seolah kau tidak akan selamat.” Kira memelukku, air matanya begitu deras bak hujan yang begitu lebatnya. “marshel akan mencoba menolong.”  Ku berikan sedikit senyuman yang berlalu bersama hembusan angin.
Hari-hariku semakin bahagia semenjak mereka ikut kesini. Aku dan Kira bercanda bersama-sama, berkejar-kejaran seperti anak kecil, meski kami sadari kami bukan lagi kanak-kanak. Ia mencoba menangkapku , tetapi tidak bisa. Hingga di ruang tamu, langkah kaki ini terhenti ketika kulihat sesosok lelaki separuh baya duduk bersama ibu.

Senyum yang tadinya begitu bahagia, seketika mengubah segala lidahku.
Masa lalu....Mengapa menghampiri ? tubuhku serasa lemas, kakiku tiada sanggup melangkah, dan kata yang ingin ku ucap serasa tersangkut di tenggorokan.
“Sayang ! kamu kenapa ?” suara Kira mengagetkanku.
“Tidak !.” aku sedikit kaget.
“Sayang !.“ ibu menatapku.
“Ibu !.”
Ibupun meninggalkan kami, sambil mengisyaratkan kepada Kira agar kami ditinggal berdua.
Semilir angin membuat kami berciram diri. Kebencian dihatiku tlah membekukan kata-kata untuk dia.
“Sayang ! Ayah kangen kamu !.” ucap Rianto.
“Ayah ! kangen ! Apa aku tidak salah dengar ?.” ucapku dengan dingin.
“Sayang !.”
“Tak usah anda berbasa-basi. Aku sudah tahu tujuan Anda kesini.” ku hela nafas panjang sejenak. “Jhon dan Nayla tidak bisa bersatu sampai kapanpun.”
“Jadi....benar ! dia putraku.”
“Kenapa Anda masih bertanya ?”
Kami terdiam lagi, suasana begitu hening. Wajah itu sedikit menunjukkan rasa gelisha. Sesekali dia menatapku.
“Kalung itu ?”
Aku menatapnya sambil memegang kalung yang melingkar di jari leherku. “Kenapa ?”
“Kau masih menyimpannya dan memakainya ?”
“Tentu, kalung ini kan peninggalan Ayah dan tentunya lambang dari keluarga Riano. Yang pantas memakainya hanya keturunan Riano asli, bukan berdarah campuran.”
“Sayang !”
“Lagi pula kakak sudah tiada, lalu siapa lagi yang memakainya kalau bukan aku.”
“Sayang !.” Ia terdiam sejenak dan memandangku. “Mengapa kau begitu membenciku.”
“Kenapa kau bunuh orang-orang yang ku sayang ?” ku tatap balik dia.
“Aku tidak sengaja, Sayang !”
“Bicaralah ! Aku tahu apa yang kau sembunyikan !.” kami terdiam.


“Karena Ayahmu merebut ibumu dariku.” Rianto sepertinya tidak  bisa menahan emosinya.
“Apa !.” aku terkejut.
“Semua orang juga tahu, kalau ibumu adalah pacarku, bahkan kami akan tunangan. Tapi Ayahmu datang dan mengambil ibumu dari aku. Sebagai seorang adik aku hanya bisa mengalah.”
“Apa ! Adik !.” Aku begitu kaget mendengar itu.
“Iya ! Aku dan Rianto adalah saudara tiri, seperti kau dan Jhon. Satu ibu tapi berbeda Ayah. “Rianto semakin tidak bisa mengatur nadanya. Aku begitu terkejut mendengar semua itu. Kenapa ibu tidak pernah bercerita ? kenapa ibu menyembunyikan semua itu ?.
“Sayang ! harus kau tahu, aku begitu membenci Ayahmu. Bukan hanya Ayahmu sudah mengambil ibumu dariku, tetapi karena dia juga selalu menjadi yang terhebat di mata ibu kami.”
“Kalau kakakmu ! sebenarnya aku tidak membenci. Tapi sikapnya yang membuatku muak melihatnya.”
“Maksudmu !.”
“Ken tidak pernah bersikap sewajarnya terhadap Jhon. Kasih sayangnya sepenuhnya untukmu. Sedangkan Jhon, ia merasa tersisih. Ia selalu bertanya mengapa kakak Ken selalu lebih sayang kepada kak sayang ? Apa aku hanya saudara tiri ?.”
“Kalau kau diposisi dia, bagaimana perasaanmu ? pasti kau sedih.”
Aku tercengang mendengar kenyataan itu. Rasa sakit ternyata mampu membunuh orang-orang yang ku sayang.
Setelah pertemuan itu, aku tidak bisa berfikir dengan tenang. Dengan linangan air mata, ibu membenarkan apa yang diceritakan Rianto. Aku semakin terpuruk diatas kenyataan yang satu persatu menghampiri aku. Aku semakin tersudut diantara hari-hariku menunggu malaikat kematian menjumput.
“Sayang ! Kau sedang apa ?.” Kira mendekatiku.
“Aku sedang menatap wajah Ayah dan kak Ken.” Ucapku sambil menatap kalung berliontin putih bening bak kristal murni, yang kugantungkan di jari-jari tanganku.
“Ayah ! kak Ken ! Dimana ? nggak ada apa-apa disini ?.” Dia seolah bingung dan menatap tajam kearah liontin itu.
“Kau tahu, Kira !.”


“Apa ?.”
“Liontin ini adalah lambang dari keluarga Riano.” Ucapku sambil memasangkannya kembali keleherku. “Ayah membuatnya khusus untuk keturunan Riano. Liontin ini dibuat dengan kasih sayang. Dari potongan-potongan kristal yang tidak bisa pecah walau jatuh dari ketinggian sebuah gedung tertinggi. Ayah sengaja memilihnya, karena kakak dulu sering jatuh. Dan didalamnya didisi sebagian air mata kebahagiaan yang dikumpulkan oleh Ayah dari air mata kakak yang waktu itu masih kecil dan suka menangis.”
“Kenapa kau menceritakannya kepadaku. Bukankah itu adalah rahasia liontin keluarga Riano, sedangkan aku bukan dari keluarga Riano.
“Kira.... karena ku ingin kamu memakainya !” kubalikkan badanku menghadap dia, kutatap wajahnya dengan tajam.
“Kalung ini hanya boleh diberikan setelah pemakaia meninggal. Setelah aku pergi, aku ingin kau yang memakainya.” 
“Sayang !” Kira memeluknya. “Kenapa kau berbicara seolah esok kau akan pergi.  Bukankah marshel sedang mencari cara buat mengobati kanker di tubuhmu.” Ia semakin menenggelamkan tubuhku di dalam pelukannya. Air matanya membasahi dekapan itu.
“Tidak ada waktu lagi, Kira. Semakin lama tubuhku terasa tidak sanggup lagi untuk menopang kanker itu. Dengan liontin itu, kau bisa melihatku bersama Ayah dan Kakak.”
“Sayang !.” Ia semakin larut dengan kesedihan. Air matanya begitu deras mengalahkan hujan di akhir musim hujan.
Natal ! Tiga hari lagi Natal, seperti Natal-natal yang tlah berlalu Kira selalu mendapatkan tawaran manggung untuk menyambut Natal. Aku dan yang lainnya selalu menemani Kira disetiap mengisi acara untuk Natal. Kami menemani dia agar tidak sendiri, kami ikut bukan berarti kami ikut merayakan penyambutan Natal. Ehm.... inilah kira yang mampu membuatku menggilainya sejak SMA. Gayanya yang begitu sporty, memakai celana, T-Shirt dan sepatu Kets. Tapi aku lebih suka saat dia memakai hem dan di rangkap dengan Jas. Dengan semua itu, Kira mampu menyihir kaum hawa yang datang.
Malam ini tepat malam Natal. Setelah acara selesai, Kira mengajakku ke belakang panggung.
“Sayang, aku ingin ngomong sesuatu !.”
“Apa ! kok, tidak seperti biasanya kamu seperti ini.”


“Asy-hadu alla Illaha Illallaah wa asyhadu anna muhammad rasulullah.”
Aku begitu terkejut saat dia mengucapkan dua kalimat syahadat.
“Maksudmu apa ?” Tanyaku tidak mengerti.
“aku memulai masuk islam dengan dua kalimat syahadat itu. Dan besok ustadz akan membimbingku untuk benar-benar menjadi seorang muslim.” Ia tersenyum.
“Kira ! “Aku pun menyambut pelukannya dan ikut tersenyum.
Aku melepas kalungku dan akan kupasangkan di leher Kira. Tapi....langkah tanganku terhenti ketika kulihat sebuah kalung salip menghiasi leher Kira. Ku tatap kalung itu dengan tajam, kirapun melirik kalung itu. Dilepaskan kalung itu dan dibuangnya kalung itu melalui jendela. Dan iapun mengambil kalungku dari tanganku dan memasangnya di lehernya. Ia tersenyum dan ku berikan dia senyuman pula.
            Keesokannya acara masuknya Kira menjadi seorang muslim dimulai, kami semua begitu senang mengikuti acara itu. Seorang kyai yang cukup disegani di kota kami, membimbing Kira untuk menjadi seorang muslim. Pernah aku bicara kepada Kira, kalau seorang ingin menjadi seorang muslim tidak boleh didasari dengan hal karena ada sesuatu, melainkan dengan niat serta keyakinan yang kuat. Tapi jawaban yang ia ungkapkan membuatku yakin kalau Kira ingin berubah. “Sayang, sebenarnya dari kecil dari aku tinggal bersama Mas Ryan, aku ingin sekali menjadi seorang muslim. Bisa sholat bersama, membaca Al-Qur’an, serta puasa. Tapi aku tidak berani mengungkapkan semua keinginanku itu. Setiap mereka sholat dan membaca Al-Qur’an, aku selalu memperhatikan mereka. Aku merasakan kedamaian dan kesejukan di hatiku yang paling dalam, ketika kudengar ayat-ayat dari Al-Qur’an. Aku tersenyum kecil saat kudengar jawaban Kira, mengapa ia ingin menjadi seorang muslim.
            Acara itu berjalan dengan lancar, dan inilah Kira yang sekarang Kira Sebastian kini bernama Kira Riano. Setelah masuknya dia kepada keyakinan yang kami anut, Kira sengaja memilih nama Riano karena mungkin sebentar dia akan menjadi bagian dari keluarga Riano. Dia....pewaris ketiga kalung lambang dari keluarga Riano.
            Di sore yang indah, aku bersantai di ruang tengah. Tiba-tiba Kira muncul dengan rambut basah dan sebuah kain pengering rambut yang digosok-gosokan di rambutnya. Dia berdiri tepat di depanku, ku pandang dia dan senyuman keluar dari kedua sudut bibirnya sembari duduk disampingku.
“Cie....yang rambutnya baru dipotong.” Aku mencoba menggodanya.


“Apa sich, Sayang !” ia agak cemberut, namun dengan senyum yang manis.
“Kira....!.” Ku pandangi dia dan kudekarkan wajahku ke depan wajahnya.
“Apa....!.” ia memasang wajah penasaran.
“Kira !.” Ku sentuh kedua pipinya dan kutarik dengan pelan. “Kamu terlihat gendut dengan rambut pendek. Lihat kedua pipimu, tuh kan ! kebanyakan makan-makanan berlemak sich !.” aku tertawa.
“Apa ! sepertinya akau nggak gendut-gendut amat, kok !.” Ia tertawa dan menggelitiki aku. Kami saling bercanda.
Malam tahun baru, kami menyambut dengan suka cita. Tepat tengah malam, denting jam dua belas berbunyi. Aku mendapat ucapan selamat ulang tahun dari semua orang. Begitu banyak kado yang ku terima dari mereka. Tetapi kado yang paling indah adalah kado dari Tuhan karena aku masih bisa bersama mereka.
Malam tahun baru, aku dan Kira mengikat cinta kami berdua dengan cincin yang dipesan Kira beberapa waktu lalu. Aku bahagia sekali karena aku masih bisa menjalani hidup sampai sejauh ini. Bertunangan , bahkan dengan orang yang kusayangi sejak dulu.
Tahun baru, hari yang begitu spesial. Hari dimana aku dilahirkan dan kini juga menjadi hari dimana aku dan Kira menjadi sepasang pengantin. Dengan baju putih terurai kebawah memanjang, mereka bilang aku begitu cantik. Dengan kemeja putih, celana, jas, serta dasi hitam, Kira begitu terlihat manis. Kami begitu bahagia. Acara itu menyimpan canda tawa dan senyum kami. Pernikahan itu membuatku berharap bisa hidup bersama mereka bila ada kehidupan yang kedua untukku.
Setelah pernikahan itu, dua bulan berlalu dan dokter bilang kami akan menjadi orang tua. Aku begitu senang karena Kira ada yang menemani dan dia tidak akan kesepian setelah aku pergi dan tentunya keturunan Riano tidak akan terhenti.
Kira begitu senang karena sebentar lagi dia akan menjadi seorang Ayah. Ia begitu perhatian kepadaku, Kira sedikit demi sedikit mengurangi waktunya di luar rumah hanya untuk menemani aku.
“Sayang ! ntar kalau di lahir, kita kasih nama siapa ?.” Ucapnya sambil menyentuh perut berusia hampir sembilan bulan ini.
“Ehh....! Siapa ya ?.”
“Pokoknya kamu yang harus ngasih nama !.”
“Iya, Kira sayang.” Ia memelukku.
Sebenarnya aku sudah mempersiapkan nama untuk calon bayiku yang kata dokter adalah bayi laki-laki dari hasil USG.


Hari terus berganti aku tak sabar menunggu kelahiran anak pertama ini. Ku rasakan pening di kepalaku, lagi-lagi hidungku mimisan, dan.... setelah ku buka mata, semua orang di sampingku. Ku tatap wajah Kira yang penuh dengan rasa cemas.
“Kira....! Aku baik-baik saja kok !.”
“Sayang ! sudah ku bilang jangan terlalu lelah. Kondisimu kurang baik.”
“Tidak apa-apa Kira !.”
“Sayang !.” Ia memegangi tanganku. Kini baru ku tahu, kalau Jhon dengan Ayahnya saling bicara dua minggu yang lalu, untuk membicarakan soal Jhon dan Nayla, sekalian Rianto melepas rindu.
“Jhon !.” Rianto berjalan ke arah Jhon.
“Om.... A...yah !.” kata-kata Jhon tersekat.
“Ayah ! kau sudah menerimaku sebagai Ayahmu Jhon ?.”
“Entahlah ! kau dan ibu pernah menikah, meski kalian sudah bercerai tetapi kau masih tetap Ayahku. Itu adalah takdir, jadi tidak bisa dipungkiri, mungkin aku dan Nay memang tercipta sebagai seorang kaka beradik.”
“Jhon, Ayah bangga padamu ! karena mau menerima Ayah meski Ayah pernah menelantarkan kamu sedari kecil !.” Rianto memeluk Jhon.
“Aku memaafkanmu Ayah !.”
Aku tersentak dari lamunan itu, ketika suara langkah kaki Ryan mendekat ke arahku.
“Mas Ryan !.” Ia berjalan ke arahku dan duduk di kursi sebelahku.
“Sayang, kamu sudah baikan ?.”
“Sudah, Mas !.” aku terdiam sejenak.
“Mas ! Boleh nggak aku minta satu hal sama kamu ?.”
“Apa sayang !.”
“Saat bayikumulai tumbuh menjadi kanak-kanak, tolong ajarkan dia lagu keluarga kita ya Mas !.”
“Apa ?.” Ryan terkejut saat mendengar kata keluarga kita. “Keluarga kita !.” Bukankah aku bukan siapa-siapa, dan aku juga tidak terikat darah keluarga Riano.” Ryan bingung.
“Mas ! Mas Ryan itu sudah seperti kakakku sendiri. Mas Ryan itu seperti pengganti kak Ken.” Aku terdiam sejenak. “Jadilah paman buat dia nanti gantikan posisi kak Ken Mas ! Kalau bukan Mas Ryan yang mengajari dia nanti, lalu siapa lagi ?.”


“Iya, sayang ! Akan ku jaga dia seperti anakku sendiri. Tapi kamu juga harus bertahan sayang.”
“Mas !.” Aku hanya bisa tersenyum.
Suara tangisan seorang bayi yang baru lahir terdengar begitu keras di rumah sakit tempatku melahirkan anak pertamaku. Keturunan ketiga dari keluarga Riano akhirnya lahir juga. Semua orang yang ada didekatku begitu bahagia dengan kelahiran bayi laki-laki itu.
Ia berada digendonganku. Ku tatap dia dengan senyum dan air mata. Ia begitu manis seperti Ayahnya, Kira. Dia terlihat begitu gagah seperti pamannya, kak Ken. Dan ia begitu lembut, seperti aku. Kirapun menggendong bayi itu lalu didekatkannya telinga anak itu ke bibir Kira. Ia mengumandangkan adzan untuk bayi itu, kata orang agar ketika anak itu besar, dia dapat menjadi anak yang sholeh. Kini giliran untuk memberi nama anak itu tiba.
“Sayang, kamu kasih nama siapa anak ini ?.” Tanya mereka.
“Iya sayang ! kamu kasih nama siapa ?.” Kira ikut bertanya.
“Saykenki !.”
“Apa artinya sayang !.” Tanya Rama.
“Bukan apa-apa ! Cuma Say itu kepanjangan dari sayang. Ken, karena dia agak mirip sama kak Ken. Sedangkan Ki itu.... Kira !.”
Mereka tersenyum dan bercanda sambil memanggil anak itu dengan nama Saykenki.
“oh iya, Kira nama panjangnya siapa ?.” Tanya Ryan.
“Siapa Ya ?.”
“Kok gak tau sich ? kamu kan Ayahnya ?.” Desak Lyla.
“Habis aku nggak pernah mikirin soalnya kan sayang yang ngasih nama.” Bela Kira yang merasa terpojok.
“Sudah.... Sudah !.” ku coba melerai.
“Saykenki Cahyadi Riano. Baguskan !.”
Mereka yang tadinya ramai sendiri, tiba-tiba terdiam dan menatapku. “Saykenki adalah Cahaya baru yang akan menjadi awal untuk penerang keluarga Riano.”
“Bagus, sayang !.” Ucap Rama.
Setelah kondisi membaik, dokter membolehkan aku dan Saykenki pulang. Hari-hariku semakin indah. Aku tidak lagi kesepian, ketika Kira ada konser di tempat lainyang membuatnya tidak pulang.



Di bawah sore hening. Aku duduk sambil memandangi sebuah buku yang natinyanya bisa dibaca Say. Tiga perempat buku itu ditulis dengan ketikan komputer. Dan sisanya ku tulis dengan tinta bolpoin. Ku lanjutkan tulisan yang sempat terhenti di halaman yang kosong. Tiba-tiba kepalaku terasa hening lagi, pandanganku mulai kabur. Sakit begitu mendera tubuhku. Ku peluk buku itu dan perlahan mataku mulai berat untuk di buka.
Kira menghela nafas panjang, sambil menutup buku yang dibacanya tadi. Buku tebal bersampul cokelat dengan judul Seberkas Kisah Lalu yang ditulis sayang untuk anaknya. Air matanya perlahan terjatuh dan semakin deras. Dengan jarinya ia mencoba menghapus air mata kesedihan itu, Kira terus memandangi buku itu.
 “Mas !.” Jhon menepuk bahu Kira dan duduk disampingnya.
“Eh....Jhon !.” Cepat-cepat Kira menghapus air matanya itu.
“Bagaimana keadaan kakak ?.”
“Belum sadar.Air mata Kira kian deras membasahi kesedihan.” kata marshel, sayang sudah terlambat untuk ditangani, karena selama ini dia enggan untuk menjalani pengobatan. Dia sudah begitu sekarat. Kira menutup matanya dengan tangannya sambil tertunduk.
“Mas yang sabar, ya !.”
Hari-hari mereka dijalani di rumah sakit. Tak ada satupun orang yang memasang wajah ceria, mereka semua begitu cemas memikirkan sayang. Semua dokter yang menangani sayang , angkat tangan. Bahkan Marshel yang seorang ahli kankerpun tak mampu menyembuhkan sayang. Dia hanya bisa memberika obat-obatan agar sayang bisa bertahan.
“Marshel, bagaimana keadaan sayang ?.” Tanya Rianto suatu hari.
“Dia mashi belum sadar.”
“Kenapa kau tak membiarkan aku menangani dia ? Bukankah aku jugaseorang dokter ?.”
“Maaf ! bukannya anda tidak boleh ikut menangani Sayang, tapi dia yang meminta agar anda tidak ikut campur dalam menangani keadaan Sayang.
“Kenapa ?.”
“Aku juga tidak mengerti kenapa, tapi itu permintaan terakhir Sayang padaku.”
“Ok ! Aku mengerti !.”
Rianto meninggalkan Marshel.



Sebelum Sayang koma, ia sempat bertemu dan meminta Marshel untuk menjauhkan dirinya dari Rianto.
“Mas !.” Sayang mendekati Marshel.
“Sayang !.” Marshel sedikit kaget, “Ada apa Sayang ?.”
“Mas, seandainya nanti aku masuk rumah sakit, jangan biarkan Rinato menyentuhku sedikitpun.”
“Tapi kenapa Sayang ? Bukankah dia juga seorang ahli kanker yang cukup tersohor. Dia bisa membantu kamu.” Marshel bingung dengan Sayang.
“Aku tak rela dia menangani aku, cukup Ayah dan Kakak yang mati di tangannya.” Sayang tertunduk.
“Sayang !.” Marshel menatap Sayang.
“Hidup dan mati seorang itu Tuhan yang menentukan, bukan dia.”
“Bukan begitu, Mas !”
“Lalu....!.”
“Seandainya aku harus meninggal, aku lebih rela meninggal di tanganmu, seberapa besar Mas berusaha, bila akhirnya aku tidak selamat, aku akan rela. Asal Rianto tidak ikut menyentuh sedikitpun.”
Marshel memeluk Sayang. Air mata mereka membasahi pipi mereka.
            Setiap hari Kira menemani Sayang. Ia selalu berdoa agar Sayang bisa sembuh dan bisa bercanda bersama putra mereka. Namun semua tak seperti yang diharapkan. Rantai harapan putus diiringi denyut jantung Sayang yang kian melemah. Marshel sudah berusaha tapi Tuhan berkata lain. Denyut nadi Sayang semakin lemah dan semua yang menyayangi sayang harus merelakan perempuan manis berambut panjang itu pulang. Kira yang tidak mampu melihat itu terjatuh tidk sadarkn diri dan disusul dengan Lyla.
            Air mata perpisahan berkumpul menjadi sebuah kenangan menyakitkan. Tak henti air mata itu menetes perlahan hingga deras. Meski mereka tidak pernah sadar, kepulangan Sayang adalah kebahagiaan baginya karena dia telah bertemu dan bisa berkumpul dengan dua orang yang disayanginya, Ayah dan Kakaknya.

                                                                                                     Jombang, 07-01-2010






Kehilangan dirimu
Menyakitkan nurani
Separuh nyawa terbawa
Menyisahkan perih dihatiku

Baiknya semua kenangan yang terindah
Tak ku balut dengan tangis
Baiknya setiap kerinduan yang merejam
Tak ku ratapi penuh penyesalan

Hanya terus berharap
Ini bukan kenyataan
Kau pergi tinggalkan dunia fana
Akhiri kisah asmara kita berdua

Baiknya semua kenangan yang terindah
Tak ku balut dengan tangis
Baiknya ku lepaskan segala kesedihan
Tuk merelakanmu

Mengapa semua ini terjadi
Betapa ku mencintai dirimu
Ku tak kuasa menahan kesedihan yang begitu dalam




                                                                                                       Baiknya / Ada Band







Ø  Sayang Kusuma Riano
Ø  Kira Sebastian
Ø  Ken Riano
Ø  Ryan andrian Putra
Ø  Marshel Setya Rahman
Ø  Rama Eriestyan
Ø  Lyla Anggun Saputri
Ø  Jonathan Aditya Rianto
Ø  Nayla Cahya Rianto

No comments:

Post a Comment