A. Latar Belakang Masalah
Pada dasarnya, manusia memiliki dua dimensi utama yang terdiri dari dimensi material dan non-material. Meski kedua dimensi tadi berbeda dari sisi eksistensi, namun keduanya memiliki kaitan yang sangat erat. Sebagaimana dimensi materi manusia dapat bermasalah, demikian pula dalam dimensi non-materi manusia pun akan mengalami hal yang sama. Jika pada dimensi materi manusia memiliki berbagai kebutuhan yang harus mereka penuhi, maka dalam dimensi non-materi manusia juga terlibat dengan kebutuhannya yang sepadan. Tentu saja berbagai kendala dan kebutuhan dari setiap dimensi tersebut, pada gilirannya harus disesuaikan pula dengan eksistensi masing-masing dimensi.
|
Setiap manusia dengan latar kehidupan yang berbeda, tentunya juga memiliki karakteristik kepribadian yang khas dan unik. Tetapi pada umumnya, mereka memiliki minat yang kuat terhadap berbagai bidang yang menjadi interestnya. Bahkan ada di antara mereka yang sangat tertarik terhadap berbagai persoalan moral dan etika. Mereka juga telah dapat dikatakan sangat otonom, terutama dalam berpikir, bersikap, serta dalam membuat keputusan dan menentukan tindakan. Sejumlah karakteristik yang khas dan unik ini, jika tidak dipahami dengan benar oleh para pendidik di almamater dan orang tua mahasiswa itu sendiri di rumah, maka dengan sendirinya akan menimbulkan persepsi seolah-olah sosok mahasiswa tersebut adalah individu yang ambisius, egois dan keras kepala, atau tidak mau kompromi. Bahkan ada pula beberapa kalangan yang secara ekstrim menilai mahasiswa santri ini mempunyai sikap prososial yang rendah terhadap lingkungannya.
Manusia ideal atau insan kamil, jika ditinjau dari sisi psikologi, sebenarnya merupakan proses aktualisasi diri, dimana manusia mencoba dan berusaha mewujudkan akhlak Ilahi sebagai prototipenya, sehingga timbul kesadaran yang kuat untuk mengubah situasi hidupnya ke arah hidup yang bermakna.[2] Pemancaran sifat-sifat Ilahi dalam wujud akhlak insani merupakan perintah Allah dalam al-Qur’an Surat al-Qashash ayat 77, yang berbunyi:
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الآخِرَةَ وَلا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الأرْضِ إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ (٧٧)
Artinya:
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.[3]
Ayat tersebut mengajarkan kepada kita, bahwa kebaikan tingkah laku manusia dengan sesama hendaknya termanifestasi dalam bentuk keteladanan mereka terhadap sifat-sifat Ilahi dalam kehidupan keseharian sesuai dengan batas kemampuan kemanusiaannya.[4] Dengan peran potensi ruhaniah seperti yang digambarkan di atas, sebagaimana diungkapkan Al-Ghazali dalam Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, Jilid III, maka menjadi wajar kiranya bila manusia pun lebih menaruh perhatian pada pemberdayaan potensi ruhaniah. Karena potensi ini selain lebih utama dari pada jasmaniah –yang merupakan bagian paling tidak sempurna yang suatu saat bisa rusak dan hanya mempunyai naluri alami yang hanya tunduk pada kekuatan-kekuatan di luar dirinya– sehingga jasmaniah tanpa ruhaniah disebut benda mati, juga di dalamnya terdapat potensi psikis yang meliputi: ‘aql, qalb dan nafs.[5]
Dengan mempertimbangkan faktor keunikan karakteristik kepribadian serta adanya dorongan yang kuat untuk menjadi insan kamil seperti tersebut di atas, maka dengan sendirinya pula manusia akan memerlukan kiat-kiat khusus dalam mengelola atau memfasilitasi berbagai aktivitas yang mengarah pada eksistensi hidupnya. Karena itulah, melalui sikap otonom yang dipadu dengan task commitment yang tinggi dan minat mereka terhadap banyak aspek kehidupan serta nilai-nilai moral otentik baik dalam ranah spiritual maupun di tengah lingkungan sosial tempat tinggalnya, maka menjadi wajar kiranya bila kalangan mahasiswa santri akan memiliki tingkat religiusitas yang lebih tinggi jika harus dibandingkan dengan kelompok mahasiswa biasa.
Kecenderungan semacam itu tidak saja bermula dari kesempatan belajar agama maupun rutinitas beribadah yang mereka terima lebih besar, ketimbang mahasiswa biasa yang mungkin hanya memperoleh pengelaman-pengalaman agama dari lingkungan keluarganya saja, melainkan juga dapat disebabkan oleh pengaruh suasana di sekitar tempat tinggal mereka yang serba pluralis dengan ragam permasalahannya. Bagi mahasiswa santri yang tinggal dalam komplek Pondok Pesantren, selain harus patuh terhadap peraturan yang telah diberlakukan, pada waktu-waktu tertentu mereka juga diwajibkan untuk mengikuti jadwal pengajian maupun rutinitas peribadatan lainnya. Sedangkan bagi sekelompok mahasiswa biasa, baik mereka yang berangkat dari rumah atau yang berdomisili sementara di rumah-rumah kontrakkan serta kost-kostan yang disediakan oleh penduduk sekitar kampus tersebut, sudah bisa dipastikan bahwa pola pergaulan mereka pun jauh lebih bebas dari nuansa kehidupan mahasiswa santri yang padat kegiatan.
Akan tetapi satu hal yang mesti ditandaskan di sini, bahwa persoalan keimanan (spirit keagamaan) –dalam hal ini merupakan tingkat religiusitas– sesorang, tentu saja tidak bisa dipandang atau dinilai hanya dari intensitasnya pergi ke masjid, mengikuti majelis-majelis taklim dan menghadiri agenda-agenda pengajian yang bersifat rutin semata. Dalam berbagai kemungkinan yang kita temukan di lapangan, betapa banyak mahasiswa yang notabene juga berstatus sebagai santri pada sebuah Pondok Pesantren ini, mereka malah justru lebih liar dan cenderung lepas kendali dalam pergaulan sewaktu mereka berada di luar areal Pondok Pesantren tersebut. Hal ini bisa saja disebabkan oleh adanya perasaan dalam hati mereka yang menganggap Pondok Pesantren –dengan segenap atauran dan seluruh rutinitas peribadatannya– tak lebih ibarat “Penjara Suci” yang membosankan serta membatasi ruang ekspresi mereka terhadap dunia luar yang dipandang gemerlap.
Begitupun halnya dengan apa yang tengah dialami oleh kalangan mahasiswa yang sekaligus menjadi santri pada sebuah lembaga Pondok Pesantren, seperti di Universitas Yudharta Pasuruan. Sebelum lebih jauh kita membicarakan tentang fenomena ini, perlu diketahui bahwa Universitas Yudharta Pasuruan merupakan sebuah Perguruan Tinggi yang berada dalam naungan Yayasan Pondok Pesantren Darut Taqwa, dimana meskipun secara kelembagaan berada pada institusi keagamaan, namun dalam menjalankan program akademiknya institusi pendidikan ini mempunyai visi sebagai Kampus Multikultural. Karena itulah, selain mengedepankan aspek-aspek agama dan moral etik, kemasyarakatan yang menjadi kerangka pemikiran serta landasan pelaksanaannya, para akademisi kampus ini juga sangat memperhatikan nilai-nilai keberagaman dan status sosial di kalangan mahasiswanya. Satu contoh misalnya, dengan tidak membedakan pelayanan serta penggunaan berbagai fasilitas yang memang seharusnya diperoleh atau digunakan, baik mahasiswa yang masih berstatus santri dan tinggal di asrama-asrama pesantren maupun para mahasiswa yang bukan dari kalangan santri dan tinggal di kost-kostan sekitar lingkungan kampus tersebut.
Gambaran tentang kesetaraan pelayanan dan perlakuan pihak akademis kampus terhadap seluruh mahasiswanya ini memang layak dikedepankan, sebab keberhasilan seseorang dalam menjalankan proses pendidikannya tidak hanya ditentukan oleh tingkat intelegensi (IQ) yang mereka miliki, tetapi juga dibutuhkan adanya kemampuan dalam meregulasi diri selama mereka mengikuti proses pendidikan di lingkungan lembaga pendidikan tersebut. Kemampuan semacam inilah kemudian di dalam Ilmu Psikologi, lebih dikenal dengan istilah self-regulation, yang tak lain meliputi kemampuan untuk mulai mencoba menentukan nilai yang ingin diperolehnya, merencanakan membuat jadwal mata kuliah, membagi waktu di tengah-tengah padatnya jadwal kuliah dan rutinitas ibadah, berinteraksi dengan masyarakat, sampai mempersiapkan diri semaksimal mungkin dalam menghadapi ujian semester, sehingga pada akhirnya mereka dapat meningkatkan prestasi akademiknya di kampus.
Berpijak dari kerangka pembahasan yang telah dijabarkan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan secara psikologis antara tingkat religiusitas dengan self-regulation pada setiap individu. Oleh karena itu dalam penelitian ini penulis berkenan mengangkat judul: “Hubungan Tingkat Religiusitas dengan Self-Regulation Mahasiswa Santri Universitas Yudharta Pasuruan.”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang tersebut maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah adakah hubungan tingkat religiusitas dengan self-regulation mahasiswa santri Universitas Yudharta Pasuruan?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian yang dilakukan secara metodelogis dan empiris ini selain untuk mendeskripsikan fenomena psikologi yang sedang berkembang, juga memiliki tujuan untuk mengetahui adanya hubungan tingkat religiusitas dengan self-regulation mahasiswa santri Universitas Yudharta Pasuruan.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah:
1. Secara Teoritis
Penelitian ini secara teoritis diharapkan mampu memberikan kontirbusi atau menambah wawasan ilmu pengetahuan khususnya dalam dunia psikologi, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai kajian bersama mengenai adanya hubungan antara religiusitas dengan self-regulation yang terdapat dalam diri mahasiswa santri.
2. Secara Praktis
a. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pelengkap khasanah perpustakaan yang merupakan bahan pembanding bagi para mahasiswa yang akan mengambil judul atau permasalahan yang sama.
b. Penelitian ini secara praktis diharapkan dapat menjadi rujukan maupun sumber informasi tentang adanya hubungan tingkat religiusitas dengan self-regulation pada mahasiswa santri.
E. Definisi Operasional
Definisi operasional adalah salah satu unsur penelitian yang memberitahukan tentang bagaimana mengukur suatu variabel dengan mendasarkan pada sifat-sifat yang didefinisikan dari yang sedang diamati. Hal ini bertujuan untuk mencari batasan variabel yang akan diteliti, serta menghindari terjadinya salah pengertian terhadap apa yang dimaksudkan dalam variabel ini.
1. Religiusitas adalah penghayatan agama seseorang yang menyangkut simbol, keyakinan, nilai dan perilaku yang didorong oleh kekuatan spiritual.
2. Self-Regulation adalah penggunaan suatu proses yang mengaktivasi pemikiran, perilaku, dan affects (perasaan) yang terus menerus dalam upaya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
F. Sistematika Pembahasan
Untuk memperoleh gambaran yang jelas dan menyeluruh mengenai isi srkipsi ini, maka penulis membagi pembahasan tersebut ke dalam lima bab yang terdiri dari sub-sub pembahasan tersendiri. Meskipun antara bab yang satu dengan bab yang lain masing-masing memiliki sisi pembahasan yang berbeda, tetapi masih secara kesuruhan pembahasan di dalamnya mempunyai keterkaitan yang saling mendukung. Adapun ke lima bab tersebut tersusun dalam sistematika pembahasan sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan; memuat tentang Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Definisi Operasional, dan Sistematika Pembahasan.
BAB II Kerangka Teoretik; berisi Kajian Pustaka, yang di dalamnya menampilkan berbagai telaah teoritis yang berkenaan dengan obyek kajian. Kemudian dilanjutkan dengan Kajian Teoretik, Pengajuan Hipotesis, dan Penelitian Terdahulu yang Relevan.
BAB III Metode Penelitian; yang di dalamnya berisi tentang Pendekatan dan Jenis Penelitian, Obyek Penelitian, Teknik Sampling, Variabel dan Indikator Penelitian, Teknik Pengumpulan Data, dan Teknik Analisa Data.
BAB IV Penyajian dan Analisis Data; berisi tentang Gambaran Umum Obyek Penelitian, Penyajian Data, Pengujian Hipotesis dan Analisis, dan Pembahasan Hasil Penelitian.BAB V Penutup; merupakan bab terakhir yang berisi Kesimpulan dan Saran yang patut dikemukakan dalam skripsi. [1] Muchtar Luthfi, “Masyarakat Religius dan Problem Pluralisme Agama dan Mazhab”, dalam Jurnalislam (14 Agustus, 2004), hal. 16.
[2] Hanna Djumhana Bastaman, Meraih Hidup Bermakna (Jakarta: Paramadina, 1996), hal. 67.
[3] Depag RI., Al-Qur’an dan Terjemahan (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an, 1983), hal. 623.
[4] Djohan Effendi, “Tasawuf al-Qur’an tentang Perkembangan Jiwa Manusia”, dalam Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur’an (No. 8, Vol. II, 1991), hal. 7.
[5] Abdul Hadziq, “Psikologi Sufistik: Solusi Pengembangan Pendidikan Multikultural”, dalam Jurnal Teologia (No. 2 Vol. 19, 2008), hal. 446.
No comments:
Post a Comment