Friday, June 17, 2011

KEPRIBADIAN AB NORMAL


KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, sebab karena berkat rahmat, hidayah dan inayah-Nya semata saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Psikologi Abnormal” ini sesuai batas waktu yang diberikan.
Kedua kalinya shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, yang telah menuntun kita semua ke zaman pencerahan lewat pancaran syafa’atnya yang selalu dinantikan setiap insan hingga .
Terakhir kalinya tak lupa saya ucapkan beribu terima kasih kepada bapak Prof. Dr. Moh. Sholeh, Drs., M.Pd., PNI, yang telah memberi bimbingan terhadap saya, sehingga saya dapat memahami dan sedikit lebih mengerti tentang berbagai materi yang terdapat dalam Ilmu Psikologi. Saya juga menyadari sepenuhnya, bahwa makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, besar harapan saya atas kritik dan saran yang bersifat membangun dan memberi motivasi dalam pengembangan tugas-tugas saya berikutnya.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat, khususnya bagi penulis sendiri dan umumnya bagi para pembaca yang budiman. Amin.....


Surabaya, 23 Desember 2009

Penulis


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Apa arti perilaku “abnormal”? Kriteria apa yang kita gunakan untuk membedakannya dari perilaku “normal”. Dr. Thomas Szasz, seorang psikiater pernah menyatakan, “jika seseorang berkata bahwa ia sedang berbicara kepada Tuhan, temannya akan maklum bahwa orang itu sedang berdo'a. Namun kalau ia berkata bahwa Tuhan sedang berbicara kepadanya, boleh dipastikan bahwa temannya itu akan menganggapnya gila.”
Dari contoh di atas dapat dipandang sebagai cerminan betapa batas antara keadaan normal dan abnormal tipis sekali atau sangat sukar ditarik, karena itu di dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai masalah kepribadian abnormal.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah definisi dari perilaku abnormal?
2.      Bagaimana bentuk-bentuk kepribadian abnormal?

C.    Tujuan
1.      Dapat mengetahui definisi perilaku abnormal.
2.      Dapat mengetahui bentuk-bentuk kepribadian abnormal.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Definisi Perilaku Abnormal
Orang yang tingkah lakunya sangat berbeda dari norma yang berlaku dalam suatu masyarakat disebut “abnormal”. Karena norma-norma tersebut berbeda antara masyarakat satu dari yang ada di masyarakat lainnya, suatu perbuatan yang dianggap “normal” di suatu masyarakat, mungkin dianggap “abnormal” di masyarakat lain, Meskipun demikian, tidak ada satu masyarakat pun yang tidak memiliki norma-norma sosial bagi tingkah laku baik norma moral, etnis, atau pun hukum. Karena itu, suatu kriteria terkenal untuk mendefinisikan perilaku abnormal adalah pelanggaran norma sosial (Calhoun & Acocella, 1990; Atkinson dkk, tt; Supratiknya, 1995; Soedjono 1983), di samping penyimpangan dan norma-norma statistik, keridaksenangan pribadi, perilaku maladaptif, gejala “salah suai”, tekanan batin dan ketidakmatangan.

B.     Bentuk-Bentuk Kepribadian Abnormal
Penggolongan bentuk-bentuk perilaku abnormal selalu mengalami perubahan dan masa ke masa. Menurut Supranknya (1995 : 33), penggolongan paling tua dilakukan oleh Emil Kraepelin, seorang psikolog berkebangsaan Jerman, pada tahun 1983 dalam bukunya berjudul Lehrbuch der Psychiatrie Buku mi direvisi pada tahun 1927. Pada masa itu, kata Supratiknya, penggolongan ala Kraepelin inilah yang dipakai di mana-mana.
Selanjutnya, kalangan profesi psikiatri di Amerika Serikat, yakni “the American Psychiatric Association” (APA), mengembangkan versi penggolongan mereka sendiri dalam dokumen yang disebut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders atau disingkat DSM. Penggolongan ini, menurut Supratiknya, juga melalui direvisi sesuai perkembangan pengetahuan di bidang psikopatologi maupun perkembangan masyarakat. Hingga kini, APA telah menerbitkan DSM sebanyak empat kali, yaitu DSM-1 pada tahun 1952, DSM-II pada tahun 1968, DSM-I1l pada tahun 1980, dan DSM-IV pada tahun 1994. Selain itu, masih ada sumber penggolongan lain, yaitu The International Classification of Diseases, yang diterbitkan oleh World Health Organization dan yang juga selalu ditinjau kembali secara berkala, namun agaknya DSM versi APA lebih populer.
Bentuk-bentuk kepribadian atau perilaku abnormal yang akan diuraikan berikut mi tak hendak mengikuti penggolongan sebagaimana disebutkan di atas, namun hanya sekadar menjelaskan bentuk-bentuk perilaku abnormal yang cukup sering kita jumpai dalam realitas hidup sehari-hari, antara lain sebagai berikut.
1.      Neurosis
Meskipun secara umum tidak ada kesepakatan tentang perilaku abnormal, ahli psikologi masih memerlukan sekelompok istilah untuk menjelaskan masalah perilaku bermasalah yang mereka lihat. Istilah demikian telah bertahun-tahun dikembangkan dan telah dikumpulkan menjadi sistem klasifikasi tunggal yang dinamakan Pedoman Diagnostik dan Statistik untuk Gangguan Mental atau The Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, disingkat DSM.
Edisi terakhir DSM tidak lagi menggunakan istilah “neurosis” karena istilah tersebut menyiratkan suatu sebab (konflik psikologis bawah sadar yang tidak pernah dibuktikan. Akan tetapi, istilah itu masih digunakan oleh ahli kesehatan mental profesional untuk memaparkan suatu kategori luas tentang gangguan yang meskipun dapat menyebabkan kesulitan emosi yang sangat berat, gangguan itu tidak menghalangi orang mengadakan hubungan dengan orang lain secara nyata. “Penderita neorotik” mungkin tidak dapat meninggalkan rumah atau tetap bekerja, tetapi dia masih mengetahui apa yang terjadi di sekelilingnya. Oleh karena itu, ia tidak harus dirawat inap di rumah sakit (Calhoun & Acocella, 1990: 444).
Lalu apakah sebenarnya yang dimaksud neurosis? Istilah neurosis diciptakan oleh seorang pakar dari Inggris, William Cullen (1769). Semula ia mengira bahwa neurosis adalah gangguan dalam sistem saraf. jadi, mula-mula gangguan saraf dipandang sebagai sumber tingkah laku neurotik. Kira-kira dua abad kemudian, Sigmund Freud mengajukan pendapat bahwa sumber neurosis adalah konflik batin (intrapsychic conflict). Sebaliknya, kaum behavioris berpendapat bahwa sumber neurosis adalah cara belajar yang keliru (faulty learning) dalam menghindari kecemasan. Kedua pendapat terakhir terus bertahan hingga kini, di samping beberapa teori lain. Menurut kacamata behavioristik, inti neurosis adalah gays hidup maladaptif, berupa tingkah laku yang bersifat defensif dengan tujuan menghindari atau mengurangi rasa cemas (Supratiknya,1995 : 36-37).
Pads dasarnya, gangguan “neurotik” meliputi berbagai macam pola; sebagian pola itu jarang dan sebagian lainnya banyak ditemukan. Pola-pola gangguan neurosis, antara lain berikut ini:
a.       Gangguan Kecemasan
Dalam kehidupan sehari-hari, orang ternyata menemui kesulitan dalam memberikan suatu dikotomi yang jelas dan tepat antara kecemasan dan ketakutan. Rasa cemas selalu dicampuradukkan dengan rasa takut. Sering terjadi bahwa orang yang merasa cemas malah mengatakan bahwa dia takut; dan sebaiknya, orang yang ketakutan malah mengungkapkannya bahwa dia merasa cemas. Mana sebetulnya yang tepat? Yang jelas adalah bahwa antara rasa cemas dan rasa takut terdapat hubungan yang sangat erat sehingga sulit untuk membedakan mana yang seharusnya rasa cemas dan mana sesungguhnya rasa takut. Lalu, apa sebenarnya rasa cemas itu? Apa persamaan dan perbedaannya dengan rasa takut?
Selama beberapa dasawarsa, para ahli psikologi belum sependapat tentang pengertian istilah tersebut, Sebagian berpendapat bahwa “kecemasan” adalah ketakutan yang tidak nyata, suatu perasaan terancam sebagai tanggapan terhadap sesuatu yang sebenarnya tidak mengancam; sedangkan “ketakutan” menurut batasannya adalah sesuatu yang memang nyata –ketakutan akan sesuatu yang benar-benar menakutkan. Penulis psikologi lainnya, secara bergantian menggunakan istilah “ketakutan” dan “kecemasan”, sebagaimana istilah “kegugupan” dan “ketegangan”.
Dalam bukunya Principles of Psychotherapy: an Experimental Approach (1996), Maher menyebut tiga komponen dan reaksi kecemasan yang kuat.
1)      Emosional: orang tersebut mempunyai ketakutan yang amat sangat dan secara sadar.
2)      Kognitif: ketakutan meluas dan sering berpengaruh terhadap kemampuan berpikir jernih, memecahkan masalah, dan mengatasi tuntutan lingkungan.
3)      Psikologis: tanggapan tubuh terhadap rasa takut berupa pengerasan diri untuk bertindak, baik tindakan itu dikehendaki atau tidak.
b.      Gangguan Fobia
James Drover (1988) mengartikan Fobia sebagai “Ketakutan pada suatu objek atau keadaan yang tidak dapat dikendalikan, yang biasanya disertai dengan rasa sakit yang perlu diobati.” Pendapat lain menyebut fobia sebagai “Rasa takut terhadap hal-hal yang dianggap mengancam”. Misalnya, rasa takut pada tempat-tempat yang tinggi letaknya. Supratiknya (1995) menjelaskan fobia sebagai “Perasaan takut yang bersifat menetap terhadap objek atau situasi tertentu yang sesungguhnya tidak menimbulkan ancaman nyata bagi yang bersangkutan atau yang bahayanya terlalu dibesar-besarkan.”
Selanjutnya, Supratiknya mengemukakan beberapa contoh fobia yang penting, sebagai berikut:
1)      Akrofobia, takut berada di ketinggian.
2)      Agorafobia, takut berada di tempat terbuka.
3)      Klaustrofobia, takut berada di tempat tertutup.
4)      Hemarofohia, takut melihat darah.
5)      Monofobia, takut berada sendirian di suatu tempat.
6)      Niktofobia, takut pada kegelapan.
7)      Pirofobia, takut melihat api.
8)      Zoofobia, takut pada binatang pada umumnya atau hanya jenis binatang tertentu.
c.       Gangguan Kompulsif-Obsesif
Gangguan kompulsif-obsesif, yaitu penderita berulang-ulang\ memikirkan pemikiran yang mengganggu atau merasa terpaksa berulang-ulang melakukan beberapa tindakan yang tidak penting, dorongan kompulsif, atau keduanya. Menurut Colhoun & Acocella (1990), pikiran obsesif sering bersifat agak mengeruhkan. Sebagai contoh, orang mungkin berulang kali membayangkan dirinya mencekik istrinya. Sebaliknya, dorongan kompulsif cenderung berpusat di sekitar kewajiban dan peringatan. Dua dan dorongan kompulsif paling umum adalah mencuci (mungkin mencuci tangannya lima puluh atau enam puluh kali sehari) dan mengecek kegiatan rutin (merasa harus menghentikan kegiatannya untuk melihat dan meyakinkan bahwa dia telah melakukan sesuatu yang dia harus lakukan, seperti mengunci seluruh jendela dan pintu sebelum tidur).
Pada umumnya gangguan kompulsif obsesif, rajin diderita oleh orang-orang yang minder dan merasa tidak aman, kaku suara hatinya, mudah merasa bersalah, dan mudah merasa terancam.
2.      Gangguan Psikosis
Ini merupakan suatu gejala terjadinya “denial of major aspects of reality” dengan gejala dan pola-pola berikut (Soedjono, 1983:97);
1)      Reaksi “schizophrenic” yang menyangkut proses emosional dan intelektual. Gejalanya adalah sama sekali tidak mengacuhkan apa yang terjadi di sekitarnya. Atau peran pribadi yang berbelah dua. Contoh yang agak jelas adalah dalam film yang terkenal “Psycho”, yaitu seorang dalam pribadi lain bisa melakukan kejahatan, kemudian dalam wujud pribadi lain lupa atas tindakan pada pribadi lainnya. Dalam film mi, belahan jiwa sebagai anak dan kadang-kadang sebagai ibunya.
2)      Reaksi paranoid, seseorang selalu dibayangi oleh hal-hal yang –seolah-olah – mengancam dirinya. Oleh karena itu, dia akan “menyerang” terlebih dahulu.
3)      Reaksi afektif dan involutional, seseorang merasakan adanya depresi yang sangat kuat.
3.      Bunuh Diri
Mengapa ada sementara orang yang nekat bunuh diri? Faktor-faktor apa yang menyebabkan mereka melakukan tindakan tidak terpuji tersebut?
Para ilmuwan sosial mencatat bahwa kebanyakan percobaan bunuh diri, baik di kalangan perempuan maupun lelaki, dilakukan di tengah suasana percekcokan antara pribadi atau tekanan hidup berat lainnya. Kelompok yang beresiko tinggi untuk melakukan percobaan bunuh diri adalah mahasiswa, penderita depresi, para lansia, pecandu alkohol orang-orang yang berpisah atau bercerai dengan pasangan hidupnya, orang-orang yang hidup sebatang kara, kaum pendatang, para penghuni daerah kumuh dan miskin, kelompok profesional tertentu, seperti dokter, pengacara, dan psikolog.
Pada umumnya, kasus bunuh din dilakukan karena stres yang ditimbulkan oleh berbagai sebab, antara lain (Supratiknya, 1995):
1)        Depresi. Ada indikasi bahwa sebagian besar orang yang berhasil melakukan bunuh diri tengah dilanda depresi pada saat tindakan tersebut dilakukan.
2)        Krisis dalam hubungan interpersonal. Konflik dan pemutusan hubungan, seperti konflik dalam perkawinan, perpisahan perceraian, kehilangan orang-orang terkasih akibat kematian dapat menimbulkan stres berat yang mendorong dilakukannya tindak bunuh diri.
3)        Kegagalan dan devaluasi diri. Perasaan bahwa dirinya telah gagal dalam suatu urusan penting, biasanya menyangkut pekerjaan, dapat menimbulkan devaluasi diri atau rasa kehilangan harga diri yang mendorong tindakan bunuh diri.
4)        Konflik batin. Di sini, stres tersebut bersumber dari konflik batin atau pertentangan di dalam pikiran orang yang bersangkutan. Misalnya, seorang pria lajang merasa cemas, bingung, ragu-ragu antara memilih hidup atau mati dan akhirnya memutuskan untuk tidak lagi melanjutkan teka-teki itu dengan melakukan bunuh diri.
5)        Kehilangan makna dan harapan hidup. Karena kehilangan makna dan harapan hidup, orang merasa hidupnya sia-sia. Akibatnya, memilih mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Perasaan semacam ini sering dialami oleh orang-orang yang menderita penyakit kronik atau penyakit terminal.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Orang yang tingkah lakunya sangat berbeda dari norma yang berlaku dalam suatu masyarakat disebut “abnormal”. Seorang manusia disebut “normal” atau “waras” bila ia sama-sama waras seperti rata-rata orang sebayanya, tetapi pada rata-rata manusia, banyak mekanisme yang menentukan opini dan tindakannya sangat fantastik. Sedemikian banyaknya sehingga dalam dunia yang benar-benar waras, mereka dapat disebut gila atau “abnormal”.

B.     Saran
Dalam penyusunan makalah ini tentu masih jauh dari kesempurnaan oleh karena itu kami harap kritik dan saran pembaca untuk kami jadikan bahan acuan dalam pembuatan makalah selanjutnya agar lebih baik.




DAFTAR PUSTAKA

Sobur, Alex. 2003. Psikologi Umum. Bandung: Pustaka Setia.
Irwanto. 1998. Mengenal Psikologi. Jakarta: Arcan.

No comments:

Post a Comment