Friday, June 17, 2011

Pemikiran August Comte



A.    Pemikiran August Comte dalam Perspektif Islam
August Comte nama lengkapnya Isdore Marie August Francoisxavier Comte, dilahirkan di Moint Pellier, Perancis Selatan pada 17 Januari 1798. Setelah menyelesaikan pendidikan di Lycee Joffre dan Universitas Mont Pellier, Comte melanjutkan pendidikannya di Ecole Polytechnique[1] dijalani selama 2 tahun, antara 1814-1816. masa 2 tahun ini berpengaruh banyak pemikiran Comte selanjutnya di lembaga pendidikan ini.
Comte mulai meyakini kemampuan dan kegunaan Ilmu Alam.[2] Pada tahun 1817 Comte menjadi sekretaris dan kemudian diangkat menjadi anak angkat oleh Henri de Saint Simon, setelah Comte diusir dan hidup dari mengajarkan Matematika. Pada saat Comte tinggal bersama Saint-Simon, dia telah merencanakan publikasi karyanya tentang filsafat positivisme yang diberi judul Plan de Travaux Scientifiques Necessaires Pour Reorganiser la Society (Rencana Studi Ilmiah untuk Pengaturan kembali Masyarakat). Dari rencana judul bukunya kita bias melihat kecenderungan utama Comte adalah Ilmu Sosial.[3]
August Comte masa (1798-1857), beliau pelopor dan pemikir positivisme, dia juga sebagai Bapak Sosiologi. Selama beberpa tahun, ia juga menjadi sekretaris Tlenre de Saint-Simon, yang akhirnya dipengaruhi oleh pemikiran Saint-Simon.[4] Dalam pengetahuan ia berpandangan bahwa Comte membatasi pengetahuan pada bidang gejala-gejala saja. Pandangan tersebut didasarkan pada Hukum Evolusi Sejarah Manusia, menurut Comte sejarah manusia mengalami 3 zaman, yaitu yang dijadikan hukum tetaap.
  1. Zaman Teologis, yaitu manusia percaya bahwa di belakang gejala-gejala alam terdapat Kuasa Adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut. Periode pada Zaman Teologis ini dibagi menjadi 3 zaman:
a.       Zaman Anemesme (manusia percaya pada benda-benda yang berjiwa)
b.      Zaman Aolitisme (manusia percaya pada Dewa-Dewa)
c.       Zaman Monoteisme (manusia memandang Allah sebagai penguasa segala sesuatu)
  1.  Zaman Metafisis, Kuasa Adikodrati diganti dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang abstrak.
  2. Zaman Positif yang mengandalkan fakta yang ada di depannya.
Dalam persepektif Islam pengetahuan ada, bukan dari menafikan dzat Yang Maha Esa meskipun ujung-ujungnya pada dzat Yang Maha Esa, dalam epistemologi Islam sumber pengetahuan pada hakikatnya adalah Allah dan Allahlah yang memberikan berbagai macam pengetahuan kepada manusia secara langsung tanpa adanya gejala-gejala di samping, seperti termaktub dalam Surat al-Baqarah ayat 31:
zN¯=tæur tPyŠ#uä uä!$oÿôœF{$# $yg¯=ä. §NèO öNåkyÎztä n?tã Ïps3Í´¯»n=yJø9$# tA$s)sù ÎTqä«Î6/Rr& Ïä!$yJór'Î/ ÏäIwàs¯»yd bÎ) öNçFZä. tûüÏ%Ï»|¹ (31)
"Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!"
Dalam ayat di atas pengetahuan diberikan langsung kepada Adam (Bapak dari Manusia), tanpa adanya perantara dari Malaikat. Disimpulkan bahwa pengetahuan berangkat dari gejala-gejala pada zaman Teologis Sejarah Manusia. Islam menafikan periode Zaman Animisme dan Aolitisme yang menurut Comte itu adalah tahapan manusia mengetahui asal pengetahuan hakikatnya dari mana.
Dalam Islam menyebutkan pengetahuan yang diperoleh manusia itu bermacam-macam yang ada istilahnya sendiri-sendiri.
  1. Pengetahuan yang diperoleh tanpa proses upaya yang mendahuluinya, seperti pengetahuan seseorang tentang wujud dirinya sendiri, yang disebut Pengetahuan Badihi (Intuitional).
  2. Pengetahuan yang diperoleh melalui proses pengamatan inderawi, seperti pengetahuan tentang panasnya api, hijaunya daun, tingginya gunung, dan lain sebagainya. Pengetahuan ini disebut "dharury" (Necessary).
  3. Pengetahuan yang diperoleh melalui proses penalaran, seperti pada umumnya pengetahuan modern sekarang. Pengetahuan jenis ini disebut "istidlaly" (Deduktif).[5]
  4. Pengetahuan yang diperoleh langsung dari Tuhan tanpa upaya dan cara. Pengetahuan seperti ini disebut "ladunny".[6]
Diketahui bahwa aliran Positivisme menggunakan pengetahuan tingkat kedua, yakni yang diperoleh melalui proses pengamatan inderawi. Positivisme berpendapat, doktrin kesatuan ilmu mengajukan kriteria-kriteria bagi Ilmu Pengetahuan.
  1. Obyektif (bebas nilai, yakni hanya melalui fakta-fakta yang teramati, terukur dan menjadi cermin dari realitas).
  2. Ilmu Pengetahuan harus menggunakan metode verifikasi empiris.
  3. bahasa yang digunakan harus logis, bias diperiksa secara empiris, bersifat eksplanasi (Ilmu Pengetahuan yang hanya diperolehkan melakukan penjelasan yang ada dalam alam semesta dengan menjawab how and why).
Dikatakan juga selain Ilmu Pengetahuan, August Comte juga mempelajari Ilmu Sosial yang di antaranya mengemukakan "jika ingin ada masyarakat baru yang teratur, haruslah terlebih dahulu diperbaiki jiwa atau budi". Adapun budi menurut Comte mengalami 3 tingkatan/zaman, seperti yang dikatakan di atas telah disebutkan (Zaman Teologis, Metafisis, Positif).
Menurut Muhammad Thalhah dalam bukunya Islam dalam Perspektif Sosio Kultural, adalah perubahan dan perkembangan masyarakat itu terjadi karena perubahan lingkungannya, yakni Pertama: lingkungan bio-fisik, Kedua: lingkungan sosio-kultural, Ketiga: lingkungan kehidupan psychis.
Dari ketiga perubahan dan perkembangan masyarakat, yang paling menonjol adalah:
Pertama  : Agama atau keyakinan.
Kedua    :  Ilmu Pengetahuan dan teknologi.
Ketiga    :  Kemajuan ekonomi.
Keempat :  Tatanan politik.
Kelima    :  Letak geografis
Kelima masalah ini akan dapat mengubah situasi lingkungan hidup kita (manusia0 dan juga tata kemasyarakatan kita yang nantinya akan menuntut kepada norma-norma dan hukum-hukum yang berlaku.
Contoh: Khalifah Umar bin Khatab r.a. sebagai kepala pemerintahan Negara pertama kali menghadapi perubahan dan perkembangan masyarakat dalam kaitannya dengan penerapan hukum Islam, sewaktu tentara Islam melepaskan Syiria dan Mesopotamia dari kekuasaan Bizantium mereka memperoleh tanah pertanian yang luas, kemudian mereka membagi sesuai dengan Al-Qur'an, Surat Al-Anfaal ayat 14 yang berbunyi:
öNà6Ï9ºsŒ çnqè%räsù žcr&ur z`ƒÌÏÿ»s3ù=Ï9 z>#xtã Í$¨Z9$# )14)
"Itulah (hukum dunia yang ditimpakan atasmu), Maka rasakanlah hukuman itu. Sesungguhnya bagi orang-orang yang kafir itu ada (lagi) azab neraka."
Dari pernyataan di atas untuk menciptakan masyarakat baru yang teratur memang dari jiwa dan budi dahulu, yang kemudian ditindaklanjuti dengan fisik, untuk menyempurnakan keutuhan jiwa dan budi yang diinginkan. Dikatakan bahwa adanya hubungan pemikirannya August Comte dalam Islam setelah pernyataan-pernyataan di atas yang telah disebutkan (menurut Muhammad Thalhah).
Sekarang analisi pengetahuan dalam perspektif masyarakat religius. Menurutnya Ilmu Pengetahuan berasal dari Allah melalui panca indera (empiris) dan akal (rasionalis). Ia diperoleh dari "berita Agung" yang benar, absolute, dari sumber otoritas tertinggi dan intuisi yang terformulasi dalam wahyu, sabda/hadist, akal dan pengalaman-pengalaman intuisi.[7]
Masyarakat religius mengkombinasikan metodologi rasionalisme dan emprisme dengan tambahan wahyu. Pemahaman keilmuan dari sisi masyarakat tidak mesti rasional dan empiris tetapi ada sisi-sisi realitas metafisis. Hal ini disebabkan karena sumber ilmu Pengetahuan yang berbeda. Kaum rasionalis bersumber dari akal dan ide dalam membahas Ilmu Pengetahuan. Kaum empirisme bersumber pada pengalaman empiris-realistis sedangkan kaum religius menambahkan bahwa sumber Ilmu Pengetahuan bias diperoleh dari wahyu dan intuisi (ilham, firasat dan wangsit). Wahyu adalah salah satu dari wujud "Ketuhanan" dan ilham adalah termanifestasikan dalam diri para Nabi dan Rasul, sehingga para agamawan mengatakan bahwa Kitab Suci (Wahyu) merupakan sumber Ilmu Pengetahuan yang disampaikan oleh manusia pilihan Tuhan ke pada manusia.
Dari perbedaan sumber Ilmu Pengetahuan ini pun akhirnya akan memperoleh produk pemikiran yang berbeda. Bila Ilmu Pengetahuan Positivisme itu harus sistematis dan terukur berdasarkan empiris dan rasional, tetapi Kebenaran Intuisi (Ilham) "Wahyu" tidak harus dibuktikan dengan realitas empiris: kebenaran pengetahuan yang bersifat intuisi "boleh" dibuktikan dengan metodologi "iman".
Sebenarnya "wahyu dan intuisi" bias dibuktikan dengan realitas-empiris, namun karena keterbatasan akal pikiran manusia. Kadang-kadang kebenaran itu muncul setelah melampaui ruang dan waktu, karena orang agamawan itu melihat bahwa kebenaran itu ada yang bersifat fisik-material dan psikis-spiritualis. Mungkin pada saat ini belum dikemukakan sisi-sisi kebenaran doktrin agama, karena "akal belum taslim" namun pada saat yang akan dating dengan sarana Ilmu Pengetahuan, kebenaran itu terkorelasi dengan konsep-konsep religius yang tertulis dalam Kitab Suci. Kitab Suci yang bertahan dan keorisinilannya bias dipertanggungjawabkan manakala bersesuaian dengan penemuan-penemuan ilmiyah oleh para Saintifik Modern.

B.     Postpositivisme
Paradigma ini merupakan aliran yang ingin memperbaiki kelemahan-kelemahan positivisme, yang hanya mengandalkan kemampuan pengamatan langsung terhadap obyek yang diteliti. Secara ontologism aliran ini bersifat critical realism yang memandang bahwa realitas memang ada dalam kenyataan sesuai dengan hukum alam, tetapi satu hal yang mustahil bila suatu realitas dapat dilihat secara benar oleh manusia (peneliti). Oleh karena itu, secara metodologis pendekatan eksperimental melalui observasi tidaklah cukup, tetapi harus menggunakan metode triangulation yaitu penggunaan bermacam-macam metode, sumber data, peneliti dan teori.
Secara epistemologis, hubungan antara pengemat atau peneliti dengan obyek atau realitas yang diteliti tidaklah bias dipisahkan, seperti yang diusulkan oleh aliran positivisme. Aliran ini menyatakan suatu hal yang tidak mungkin mencapai atau melihat kebenaran apabila pengamat berdiri di belakang layer tanpa ikut terlibat dengan obyek secara langsung. Oleh karena itu, hubungan antara pengamat dengan obyek harus bersifat interaktif, dengan catatan bahwa pengamat harus bersifat senetral mungkin, sehingga tingkat subyektivitas dapat dikurangi secara minimal.
Untuk mengetahui lebih jauh tentang postpositivisme empat pertanyaan dasar berikut, akan memberikan gambaran tentang posisi aliran ini dalam kancah paradigma ilmu pengetahuan. Pertama, bagaimana sebenarnya posisi postpositivisme di antara paradigma-paradigma ilmu yang lain? Apakah ini merupakan bentuk lain dari positivisme yang posisinya lebih lemah. Atau karena aliran ini datang setelah positivisme sehingga dinamakan post-positivisme? Harus diakui bahwa aliran ini bukan suatu filsafat baru dalam bidang keilmuan, tetapi memang amat dekat dengan paradigma positivisme. Salah satu indikator yang membedakan antara keduanya bahwa postpositivisme lebih mempercayai proses verifikasi terhadap suatu temuan hasil observasi melalui berbagai macam metode. Dengan demikian suatu ilmu memang betul mencapai obyetivitas apabila telah diverifikasi oleh berbagai kalangan dengan berbagai cara.
Kedua, Bukankah postpositivisme bergantung pada paradigma realisme yang sudah sangat tua dan usang? Dugaan ini tidak seluruhnya benar. Pandangan awal aliran positivisme (old-positivism) adalah anti realis, yang menolak adanya realitas dari suatu teori. Realisme modern bukanlah kelanjutan atau luncuran dari aliran positivisme, tetapi merupakan perkembangan akhir dari pandangan postpositivisme.
Ketiga, banyak positivisme yang berpengaruh yang merupakan penganut realisme. Bukankah ini menunjukkan bahwa mereka tidak mengakui adanya sebuah kenyataan (multiple realities) dan setiap masyarakat membentuk realitas mereka sendiri? Pandangan ini tidak benar karena realtivisme tidak sesui dengan pengalaman sehari-hari dalam dunia ilmu. Yang pasti postpositivisme mengakui bahwa paradigma hanyalah berfungsi sebagai lensa bukan sebagai kaca mata. Selanjutnya relativisme mengungkapkan bahwa semua pandangan itu benar, sedangkan realis hanya berkepentingan terhadap pandangan yang dianggap terbaik dan benar. Postpositivisme menolak pandangan bahwa masyarakat dapat menentukan banyak hal sebagai hal yang nyata dan benar tentang suatu obyek oleh anggotanya.
Keempat, karena pandangan bahwa persepsi orang berbeda, maka tida ada sesuatu yang benar-benar pasti. Bukankah post-positivisme menolak criteria obyektivitas? Pandangan ini sama sekali tidak bias diterima. Obyektivitas merupakan indikator kebenaran yang melandasi semua penyelidikan. Jika kita menolak prinsip ini, maka tidak ada penyelidikan. Yang ingin ditekankan di sini bahwa obyektivitas tidak menjamin untuk mencapai kebenaran.


[1] http://en.wikipedia.org/wiki/Auguste_Comte, Diakses tanggal 6 Pebruari 2009.
[2] Robert Brown, Comte and Positivisme, dalam C.L. Ten Routledge History of Philosophy, Vol VII, The Nine Teeht Century, hal. 123.
[3] http://fajar13.co.cc/index.php?p=1-10.
[4] Bertens, ringkasan sejarah Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1998, Cet. 15, hal. 74.
[5] Al-Jurjany, Ali bin Muhammad, Kitab at-Ta'rifal, Dar al-Kutub al-Ilmiya-Beirut, 1983.
[6] Al-Bustany, Mualim Brutos, Mukhtith al-Mukhit, maktabah: Lubnan, Beirut, 1977, Bab Al-Ilmu.
[7] Poedjawiyatno, Pembimbing ke Arah Alam Filsafat, Jakarta: Rieneka Cipta, 2005, Cet. 12, hal. 120.

No comments:

Post a Comment