Monday, June 6, 2011

Senja Terakhir Untuk Pacarku (cerpen) bagian 4

















Senja Terakhir Untuk Pacarku


OLEH:

RANI “SENJA”














            Sore yang indah. Harusnya sore ini. Aku dan nenek pergi berdua untuk jalan-jalan. Tapi . . . semua tak seindah yang kubayangkan nenek setega itu meninggalkan aku sendiri. Baegitu banyak orang yang datang. Kepemakaman, namun tidak kulihat dua orang yang sharusnya ikut pula melihat dan mengantarkan jasad nenek untuk yang terakhir kali.
Di taman belakang rumah, aku duduk diats ayunan yang dibutkan nenek lima belas tahun yang lalu. Ayunan dimana aku dan nenek menghabiskan wktu bersama. Masih teringat jelas. Sore itu, nenek mengajakku untuk jalan-jalan. Semua telah siap, tapi . . semua tak seindah yang kubayangkan setelah nenek menerima telvon dari seseorang.
            aku tak tahu apa yang nenek dan orang yang ada dibalik telvon itu dibicarakan. Saat aku mendtangi nenek, ia sudah tergeletak dilantai dengan telepon di genggaman tangannya. Dokter yang menangninya mengatakan bahwa nenek mengalami serangan jantung. Bahkn samapi hari ini tidak ku ketahui apa yang membuat nenek bisa mengalami serangan jantung hingga meninggal.
Angin yang menyapa membangunkan aku dari lamunan mataku terasa berat, hidungku mengeluarkan darah, dan aku tak bisa menahan rasa sakit yang tiba-tiba menyerangku. Dan apa yang terjadi padaku?!!
Saat aku membuka mata, aku tidak tahu aku dimana. Tempat itu terasa asing bagiku. Baru aku sadari kalau aku berada dirumah sakit saat ku lihat sebuah infuse menancap ditanganku. Aku kenapa? Mengapa tubuhku serasa lemah?!! Tak lama kemudian datang seorang dokter dan perawat.
“Selamat siang, senja?”
“Siang juga, dok!”
“Apa kamu sudah merasa baikkan?.”
“Iya!.” Ku anggukkan kepala.”kenapa saya bisa berada disini,dok?.”
“Kemarin sore kamu pingsan dan seorang laki-laki yang mengaku sebagai pembantumu mengantarmu kesini.”
“Apa aku bisa beremu dengan orang tuamu?Ada beberapa masalah yang harus kami bicarkan.”
“Memangnya ada apa, dok?” tanyaku dengan serius.
“Tidak apa-apa!Hanya saja . . .”
“Aku tidak punya orang tua ataupun sudara. Dn nenekku . . . kemarin sore baru saja meninggal.” Ucapku dengan menundukkan kepala.”Jadi, kalau dokter ingin mengatakan sesuatu . . . katakana saja kepadaku.”
“Maaf . . . aku tidak tahu soal itu.”
“Tidak apa-apa!.”
“Kalau begitu aku pergi dulu, kamu boleh pulang sore ini.”ucapnya sambil meninggalkan aku. Dan senyum itu, masih melekat dibenakku. Senyum yang tak ku-ketahui maksudnya.
Sore ini juga ku kemasi barangku. Di depan, sopirku sudah menunggu ku langkahkan kakiku menuju mobil dan ku mulai masuk, mobilku perlahan rumah sakit. Sepanjang perjalanan ada sesuatu yang mengganngu pikiranku. Ku lihat jam tanganku menunjukkan pukul tiga sore. Aku baru sadar, kalau aku ada janji dengan lea.
Lea adalah eorang cewek yang mengisi hatiku lea adalah perempuan yang begitu cantik dan anggun, berkulit putih dan berambut panjang sebahu, hampir enam tahun. Dia menemani hari-hariku.
“Pak, kita pergi ke café dulu!.”
“Iya, tuan!.”
Kulihat dia menungguku didalam dengan segera  ku hampiri dia.
“Hai . . . sudah lama menunggu!!!. Tanyaku dengan duduk.
“Tidak, senja. Aku ingin mengatakan sesuatu ucapnya dengan serius.
“Memangnya ada apa, sich! Serius banget!.”
Ia tersenyum dan senyum itu yang selalu membuatku merindukannya.
“Ku harap kau tak marah!.”
“Memangnya kau mau bicara apa?.”
“Kita tidak bisa melanjutkan hubungan kita lagi. Hubungan kita harus sampai disini.”
“Apa maksudmu?.”
“Kita putus!”
“Putus!!!.” Kata itu membuatku benar-benar terkejut. Karena selama ini kami selalu baik-baik saja, tanpa ada pertengkaran sedikitpun. Lalu . . . tiba-tiba dia mengeluarkan kata yang tak pernah erlintas sedikitpun di benakku, putus!.”Tapi mengapa kita putus, le?. Memangnya apa aku menyakitimu?Apa salahku padamu?Apa yang membuatmu mengambil keputusan itu?”
“Aku harus pergi!maaf . . . senja !.”lea meninggalkan aku tanpa memberi alas an mengapa hubungan kami harus berakhir dan kata maaf itu mengganggu pikiranku. Sebenarnya apa yang  ada dibalik kata maaf itu? Mengapa dia minta maaf?.”
Begitu banyak petanyaan tentang kata “Maaf”. Apakah kata maaf bisa mengobati rasa perih yang ia torehkan lewat kata putus? Apakah kata maaf bisa mengembalikan kebahagiaan dan masa-masa indah yang pernah kami lewati? Dan apakah . . . masih banyak pertanyan dalam hatiku.
Tiba-tiba suara ponselku membangunkan lamunanku.
“Hallo!.”
“Iya, dok! Ada apa?”
“Hari ini?.”
“Tidak apa-apa?”
Ku tinggalkan café dank u tuju rumah sakit tempatku dirawat tadi.
“Ada apa dok?” ucapku dengan rasa penasaran.
“Silakan duduk! Ada beberapa hal yang ingin ku sampaikan kepadamu.”
“Apa dok?.” Aku semakin penasaran.
“Menurut hasil tes darah, ada . . .”Dokter itu smakin membuatku penasaran.
“Ada apa sich, dok?.”
“Ku harap kamu bisa menerima kabar ini dengan sabar, Ada . . . kanker yang bersemayam dihatimu.”
“Maksud dokter . . . kanker hati?.” Ia mengangguk. Aku terdiam sejenak.”sberapa parah kanker itu?.”
“Stadium tiga.”
Sepnjang perjalanan pulang, ku terdiam dengan berjuta pertanyaan. Kanker hati . . . Apakah berarti ini adalah akhir dari perjalanan hidupku?Apakah aku akan mati? Apakah hidupku benar-benar tak berarti lagi.
Bahkan sesampainya dirumah, pikiranku tak bisa terhenti memikirkan apa yang terjadi akhir-akhir ini. Kepergian nenek yag tak pernah ku duga, lalu kata putus yang tiba-tiba keluar dari bibir manis orang yang begitu kusayangi. Enam tahun yang kami jalani harus berakhir dalam waktu sesingkat itu tanpa alas an sedikitpun. Semua yang terjadi seolah tak mau pergi dari pikiranku. Bahkan semua itu terbawa dalam tidurku.
Waktu terus berlalu namun alasan lea mengakhiri hubungan kami belum ku temukan rasa sakit di tubuhku semakin mendera, semangat hidupku semakin menghilang.
Sore yang cerah, ku harapkan benar-benar cerah untuk hariku. Hampir sebulan aku tidak datang ketempat ini. Aku benar-benar merindukan tempat ini. Tapi saying, aku tak kesini bersama dia lagi. Lea . . . mengapa aku tak bisa menghapus semua tentangnya.
Tiba-tiba ku dengar suara itu. Suara yang tak asing ditelingaku. Ku dekati dia yang sedang duduk bersama seorang cowok.
“Lea . . . !”ku panggil dia. Ia menoleh dan wajahnya itu meyakinkan keraguanku. Dan betapa terkejutnya ketika ku lihat cowok yang duduk bersamanya. Sahabat sendiri, sahabat dari kecil.
“Senja . . .!”Ia terkejut.
“Jadi ini alasan kau putuskan?. Demi dia kau tinggalkan aku? Dan kau . . .! ku tujukan kata-kata itu kepada sahabat ku.” Kamu juga tahu kalau dia pacarku tapi mengapa kau tega menusukku dari belakang.
“Maaf, sen sebenarnya kami sudah lama jadian, hampir setengah dari kita pacaran.”
“Maksudmu . . . tiga tahun!.” Ia menggangguk.
“Kalian setega itu padaku. Aku tak menyangka kalian setega itu padaku!.”
“Maafkan aku, sen!.” Ucap mereka berdua.
“Keterlaluan!Aku kecewa padamu!.”
Ku tinggalkan mereka berdua dengan kekecewaan yang amat mendalam.
Tak kusangka mereka bisa seperti itu padaku.
Kini hidupku semakin tak berteman. Mungkin hanya obat-obatan yang mau menemaniku. Entah mengapa aku ingin melihat pantai, mendengar suara debur ombak yang menubruk karang. Menikmati indahnya pemandangan, merasakan sejuknya belalan angin dan halus pasirnya serta menyaksikan senja. Sudah lama sekali aku tak menikmati keindahan matahari terbenam.
Pantai ini benar-benar indah dan tak berubah sedikitpun. Meski hampir setahun aku tak mengunjunginya. Ku potret setiap sudut keindahan pemandangan pantai itu. Hal itu membuatku semakin menikmati setiap detik akhir hidupku. Tak henti ku mengambil satu-persatu foto keindahan pantai. Hingga saat kameraku membidik kearah seorang gadis. Gadis itu benar-benar cantik, wajahnya sorot matanya yang tak bisa membuatku berpaling darinya, senyumnya yang begitu manis dan meneduhkan jiwaku. Dia bagai bidadari yang turun untuk melihat keindahan pantai ini.
Ku potret keindahan didirinya, dia begitu indah sempat ku berfikir tentang dia, mungkinkah dia malaikat yang turun ke bumi untuk menjemputku dan mengantarkan aku ke surga.
Pantai mulai sepi dan senjapun mulai kudapatkan. Aku duduk ditepi pantai mulai ku nikmati cahayanya kemuning diseberang sana sambil kulihat foto-foto tadi.
“Ternyata benar! Dari tadi kamu memotret aku.” Suara itu mengagetkan aku.
“Kamu!.” Ku arahkan pandanganku pada gadis itu. Aku tak mampu mengatakan apa-apa. Parasnya seolah menghinoptisku.
“Hey! Mengapa kamu terdiam?” ucapanya mengagetkan aku.
“Maaf, ya!”ucapku terbata.
“Tidak apa-apa, kok! Ngomong-ngomong nama kamu siapa?.” Tanyanya sambil mengulurkan tangan.
“Namaku Riana, panggil saja Rian.”
Ia tersenyum sembari duduk disampingku.
“Sore begini, kok duduk sendirian di pantai sich? Memangnya kamu sedang apa?”
“Menikmati senja!.” Jawabku singkat.
“Matahari tenggelam, ya!”Ia tersenyum.
“Seperti namamu, senja!”Ia terdiam sejenak.
“Kenapa kamu suka sama matahari tengelam?” ia menatapku dingin.
“Karena . . . matahari tenggelam itu begitu indah.” Kuarahkan pandanganku ke seberang pantai. Kita bisa menatap keindahan matahari hanya saat dia akan tengelam bias kemuningnya begitu indah. Pesonanya meneduhkan kegaluan dalam hatiku. Namun dia tak bisa disentuh seperti dia.”
“Dia . . . siapa?”
“Hah . . . memangnya tadi aku bicara apa?”
“Kamu bilang, senja tak bisa disentuh, seperti dia. Memangnya dia siapa?.”
“Dia . . . bukan siapa-siapa?.”
Matahari benar-benar menghilang ditelan kegelapan malam, bergantikan dengan rembulan dan para bintang. Kami saling berpamitan. Ku lihat dia berjalan lurus kearah jalan dan menghilang diantara gelap malam.
Semenjak perkenalan itu, aku dan rian semakin akrab, kami berbagi banyak hal aku merasa hidupku berarti lagi. Hari-hariku bersamanya mampu sejenak melupakan bebanku. Tapi tak bisa ku dustai bayang-bayang kematian terkadang menghantuiku.
Seperti biasanya, kulewatkan sore dengan rian sambil melihat matahari tenggelam.
“Ri . . . mau nggak kamu jadi pacarku?”
Ku ungkapkan perasaanku walau bayangan lea masih ada dibenakku.
“Jadi . . . pacar?.” Ia memandangku begitu tajam. Sejenak terdiam hingga samapi akhirnya ia menerimaku. “Oke, mulai hari ini kita pacaran.” Ia tersenyum
Walau kebersamaan itu mampu membuaiku dalam bahagia, tapi rasa sakit yang lea torehkan lewat penglihatan itu msih saja ku rasa.
Waktu masih begitu pagi, tapi aku sudah tak sabar untuk melihat bidadari terakhirku. Saat ku langkahkan kaki keluar dari kamar, tiba-tiba rasa sakit menyerangku. Rasanya sungguh sakit lagi-lagi batuk ini menyiksaku hingga bercampur darah penglihatanku mulai kabur dan akupun terjatuh tak sadarkan diri.
Perlahan ku membuka mata. Pembantu yang slama ini menemaniku berdiri disamping ranjangku. Kekecewaan menghapiri saat kulihat jam dinding menunjukkan pukul tiga sore. Harusnya hari ini aku menemani rian.
“Dok! Ku tatap dokter yang berjalan menghampiriku.” Aku . . . pingsan lagi, ya!.”
“Senja, harusnya kamu tahu keadaanmu semakin parah. Seharusnya kamu memulai. . . . .”
“Memulai . . .!” ku potong kalimat dokter.
“Memulai untuk apa? Pengobatan itu hanya untuk menghambat bukan menyembuhkan. Aku juga sadar, suatu saat aku pasti akan mati juga.” Kami semua terdiam.
Ku hampiri rian selepas dari rumah sakit. Kulihat dia tengah duduk di tepi pantai. Akutak kuasa mendekati dia tak henti air mata mebasahi kesedihan ini. Berulang kali ku coba menghapusnya hingga benar-benar kering. Lalu ku dekati dia.”
“Rian ! “ucapku dengan sisa kekuatanku. Ia menolehku dan merekah sedikit senyum dikedua sudut bibirnya. Aku duduk disebelah dia.” Apa kau marah padaku?.”
“Marah! Marah untuk apa?.”
“Maaf!” butiran putih han jernih begitu hangat mengalir dipipiku.” Maaf, aku baru bisa datang.”
He, mengapa menangis? Sudahlah, cowok tidak boleh menangis. Cowok tidak boleh mengeluarkan air mata walau hanya setetes. Sudahlah aku memaafkanmu.” Jari-jarinya terasa lembut menghapus air mataku.
“Aku lelah RI . . . lelah sekali!.” Ku sandarkan kepalaku dibahunya. Ku tatap langit dengan tatapan kosong.” Ri . . . seandainya suatu saat aku pergi darimu, bagaimana?”
“Memagnya kamu mau kemana ? kamu nggak akan ninggalin aku kan?”
“Tidak, senja akan selalu menemanimu.”
Ku rebahkan tubuhku seharian diatas ranjang tiba-tiba ketukan pintu mengusik ketenanganku dari balik pintu muncul sesosok lelaki yang hampir tak pernah terjamah kornea mataku selama dua puluh tahun.
“Kamu!” Darahku sejenak berhenti mengalir.
“Untuk apa kamu kesini?” kucoba untuk bangun.
“Sen . . . aku rindu sekali sama kamu.
Kata pak harjo kamu sakit dan semakin parah. Aku ingin menemanimu.”
“Menemani? Menemani untuk apa? Sebelum aku pergi? Peduli apa kamu? Pergilah.”
“Sen, jangan begitu. Aku ini kakakmu?
“Kakak! Seingatku dia sudah mati dua puluh tahun yang lalu.” Emosiku makin meninggi.”pergilah.”
“Sen, bagaimanapun kau tetap adikku.”
“Adik!.” Nadaku makin memuncak.” Kau masih menganggapku adik, sementara kau tak pernah melindungiku. Kau tak pernah menolong ku saat ayah memukulku dan menyiksaku karena kepergian ibu. Kau tak pernah bisa membuat ayah mengakui keberadaanku. Dan kau tak pernah berusaha untuk semua itu.”Aku mulai lelah dan ia hanya diam.
“Dua puluh tahun bukan waktu ang singkat.
Dan selama itu kau tak pernah menjengukku sekalipun. Bahkan saat nenek meninggal.”
“Bagiku kau sudah mati. Setelah sekian lama kau pergi, kenapa kau kembali kesini?”
“Sen . . .!” hanya kata itu yang mampu dia ucapkan.
“Pergilah! Aku tak butuh kau.” Rasa sakit itu datang lagi. Dan seperti biasanya, batuk dan mimisan menemani. Aku bangun dari ranjangku dan mencoba meraih obat dilaci meja kamarku.
Langit masih terdiam dengan kepala menunduk. Saat ia melayangkan matanya ke arahku, baru disadarinya bahwa aku tengah sekarat. Tanganku penuh darah langit mencoba membantu, namun aku menghempasnya.
“Pergilah!” berulang kali kuucapkan kata itu, hingga aku tak sadarkan dri.
Ku habiskan hariku dikamar sambil kupandangi foto-foto orang yang kusayangi ibu, nenek, dan rian. Rian . . . aku baru sadar bahwa aku masih punya rian. Aku rindu skali dengannya. Sejak pertengkaranku dengan langit, aku tak pernah melihat rian.
Ku putuskan untuk menemui rian.
“Hey Ri! Sapaku sambil mendekatinya.
“Senja, kemana aja sich kamu?.”
“Ri, ke pantai, yuk!” Ajakku tanpa basa-basi.
“Ayo berangkat!.” Ia meraih tanganku.
Setelah ku tempuh perjalanan yang lumayan auh, pantaipun terjamah rian begitu asyik dengan deburan ombak yang sesekali menyapa bibir panai. Ku keluarkan kamera dari tasku, ku potret ia yang tengah asyik bermain dihadapanku. Ku minta seorang cowok yang berjalan melewatiku untuk memtret kami berdua.
“Ri . . . seandainya ini adalah terakhir kali kita bersama, gimana? Seandainya sore ini adalah senja terakhir untukmu bersamaku, gimana?” ucapku sambil melihat foto-foto tadi.
“Sen!.” Ia menatapku tajam.”kamu mau kemana? Ini kedua kalinya kau brkata kayak gitu.” Sorot matanya seakan mendesakku untuk berkata jujur.
“Aku tak akan kemana-mana, Ri!”
Ujarku meyakinkan.
Senja hari itu rasany seperti senja yang terakhir untuk Rian dariku. Aku tak bisa membohongi diriku sendiri, kanker itu semakin parah dan sebentar lagi mungkin aku akan mati. Aku semakin pasrah pada takdir , karena langit juga tak mau berajak pergi dari hidupku.
Mendung menghiasi langit, mencoba menyembunyikan matahari dibalik gerimis seperti gelap cuaca ini sekelam itupula perasaanku yang berbaur kegalauan membawaku hanyut dalam masa lalu mencoba menyatukan serpihan-serpihan masa lalu yang hampir tak pernah muncul dalam ingatanku.
Dua puluh tahun yang lalu, tepatnya saat itu umurku tiga tahun. Tiap kali ayah pulang kerja, hanya langit yag selalu dipeluk dan dibanggakan sebagai anaknya. Tiap kali ku bertanya pada ayah, kenapa hanya langit yang diperhatikan? Ayah akan menatapku tajam yang penuh kebencian dan akan keluar jawaban yang selalu sama, karena aku bukan siapa-siapa, aku hanya seorang yang membuat orang yang disayanginy meninggal. Ibu . . . berusaha menyelamatkan aku dari sebuah mobil yang hampir menghantamku.
Suara petir membangunkan aku dari lamunan. Aku mendesah panjang sambil meraih pena dan selembar kertas yang tergeletak dimeja belajar. Ku tulis surat  untuk rian sebagai perpisahan ku masukkan surat itu beserta foto-foto kami kedalam amplop ku tuliskan alamat rian dan ku kirim ke kantor pos.
* * *

Rian tersenyum melihat foto-foto mereka dibuka olehnya lembaran putih yang berisi goresan tangan dan isihati senja yang terjajar rapi itu. Seketika mata dan bibirnya menyatu membaca isinya.

DEAR RIANA SAYANG
Rian sayang . . . saat kau membaca surat ini, mungkin aku tidak akan bisa bersamamu lagi. Aku takkan bisa menemanimu lagi. Banyak hal yang tak bisa aku jelaskan. Rian . . . maaf!!!
Aku berharap senja kan untukmu selalu, meski semua itu takkan mungkin lagi. Karna, tuhan telah menuliskan kita hanya sampai disini bukan karena senja tak lagi menyanyaimu. Namun waktu yang  tidak mengizinkan kita tuk bersamamu lagi.
Rian sayang, senja sangat menyayangimu tapi senja juga harus pergi ketempat yang benar-bnar damai bersama mereka yang tlah lama menanti.
Ku harap kau bisamengerti dan mau memaafkan senja karena hanya aitu yang ku minta darimu.
Riana . . . sayang maafkan aku.

Salam Sayang

Senja.

Berjuta pertanyaan bermain dibenaknya matanya yang indah itu semakin sesak tak mampu membendung air mata. Tak mampu menahan segala air mata. Tak mampu menahan segala arti dari kata maaf itu. Ia berteriak keras memanggil “Senja”
Tigahari setelah rian menerima surat dari senja, ia mendatangi rumah senja ia tak mengetuk pintu bya membukakan pintu dan mempersilakan masuk.
“Ehm, pak senja dimana?”
“Non Rian belum tahu, ya?”
“Soal apa, pak?” ia penasaran.
“Tuan senja masuk masuk rumah sakit 4 hari yang lalu.”
“Apa?.” Keterkejutannya membawa ria menginjakkan kaki dirumah sakit. Menemukan sebuah kamar yang dihuni senja matanya memerah dan nampak senja terbaring diranjang dengan ajah pucat, walau terlihat samar karena butiran putih yang berkumpul dimatanya.
Hampir setiap hari Rian menemani senja. Berharap senja akan melewati masa kritisnya dan sehat kembali. Sama halnya langit, rasa bersalah memburu perasaanya, setelah sekian lama ia membiarkan adiknya sndiri, saat kebersamaan mulai mendekap, kini ia dihadapkan ke pada kenyataan yang memilukan.
Mata yang nampak lebam itu, mulai terbuka, lihatnya Rian yang tertidur.”Langit!.” ucapnya setengah terbata.
“Sen . . . bagaimana keadaanmu?.”ucapnya cemas.
“Langit, aku akan maafin kamu jika kau membawa dia kesini? Itu permintaanku terakhir kali?”
“Jangan ngomong gitu?”
Dengan sisa ketegaran yang ia punya langitpun mencoba menjadikan nyata keinginan adiknya. Ia mencoba meyakinkan ayahnya, agar mau melihat senja meski pertengkaran hebat sempat mwarnai percakapan mereka, namun ayah akhirnya kalah dan ikut bersama langit.
“Ayah!.”
“Senja! Ayah tidak membencimu,nak!.”
Ucapnya sambil mendekati tubuh yang telah tumbuh besar itu tanpa diiringi olehnya.
“Ayah memanggilku, nak! Aku rindu sekali dengan kata itu.”
“Sudahlah sen, jangan banyak bicara.
Kau harus banyak istirahat.
“Asalkan kau memanggilku seperti itu wlau hanya sekali lagi. Aku akan bahagia dan akan ku katakan itu kepada ibu.
“Sen, jangan bicara begitu.”
“Ayolah, ayah! Pintanya berulang kali.
“senja, anakku!.”
“Ri . . . maaf, aku tak bisa menemani kamu ketempat itu lagi. Ia menoleh kearah gadis yang berdiri tepat di sampingnya.
“Sen . . .!.” air mata itu kian deras.
Senyuman itu mengakhiri semuanya. Mata yang lebam itu tertutup rapat takkala nyawanya terbang ke tempat yang damai. Suasana menjadi penuh dengan duka, kamar itu menjadi bejana kepiluan.
Dipemakaman itu, semua orang begitu sedih kehilangan senja termasuk lea dan pacarnya.
Setelah kepergian senja, tak satupun kata terucap dari bibir Rian. Senyum manis itupun tak nampak menghiasi wajahnya. Setiap sore ia menghabiskan waktunya dipantai, tempat mereka berdua menghabiskan waktu bersama sambil menatap matahari tenggelam.
Ada yang bilang senja tak pernah lagi terlihat diujung pantai itu, awan hitam menutupinya, ketika senyuman Rian menyembang lagi dibibirnya dan ia mampu menerima kenyataan bahwa senja memang tlah pergi untuk slamanya.
Rian selalu mengunjungi panti itu hampir setiap sore, hanya untuk melihat senja. Karna baginya biasan warna senja diujung itu adalah senyuman senja, meski senja telah tiada, tapi bagi Ria senja akan selalu hidup disanubari hatinya.

Jombang, 24 Maret 2009



No comments:

Post a Comment